BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Satwa unggas dalam hal ini ayam telah menjadi sesuatu kebutuhan sebagai salah satu sumber kebutuhan protein hewani masyarakat dan biasa ditemui sebagai satwa peliharaan oleh masyarakat di Indonesia. Ayam tersebut terdiri atas jenis ayam kampung atau buras, ayam ras broiler (petelur dan pedaging) ataupun ayam hias yang dapat menjadi salah satu simbol strata sosial pemeliharanya. Salah satu ayam hias yang endemik di Provinsi Bengkulu adalah ayam Burgo atau juga dikenal dengan nama ayam Rejang (Putranto et al., 2009; 2010a, b, Setianto, 2009; Setianto et al., 2009; Warnoto dan Setianto, 2009). Ayam Burgo merupakan ayam lokal yang dapat dijumpai di wilayah Provinsi Bengkulu dan hampir tersebar di seluruh wilayah pedesaan dengan populasi yang berbeda (Gibson, 2011). Unggas endemik Bengkulu ini dapat ditemui pada hampir setiap kabupaten di Provinsi Bengkulu, dan hasil penelitian memperlihatkan bahwa Kabupaten Rejang Lebong memiliki populasi ayam Burgo domestikasi terbanyak (Putranto, 2011b; Putranto et al., 2010b, Nurmeliasari, 2003). Akan tetapi, pada saat ini eksistensi ayam Burgo tersebut dapat dikatakan belum begitu dikenal secara luas ditataran regional ataupun nasional sebagai salah satu plasma nutfah Indonesia dengan karakteristik dan keunikan yang khusus. Hal ini dikarenakan masyarakat baik masyarakat Bengkulu dan masyarakat di Indonesia belum banyak mengetahui tentang ayam Burgo.
Secara umum, pemeliharaan ayam dilakukan dengan tujuan ekonomi maupun hanya sekedar bagian dari hobi atau kesenangan (pleasure). Diketahui bahwa atas dasar tujuan pemeliharaan, maka ayam yang dipelihara dapat dibagi atas beberapa tipe yaitu tipe ayam pedaging, tipe ayam petelur, tipe ayam dwiguna dan diantaranya tipe ayam hias dan aduan. Berdasarkan hasil penelitian Putranto (2011b) dan Putranto et al. (2009; 2010a, b), ayam Burgo jantan lebih menjadi preferensi pilihan pemelihara dibanding ayam Burgo betina. Pengembangan ayam Burgo jantan lebih difokuskan sebagai
ayam hias karena keindahan bulu, bentuk dan ukuran tubuh yang unik. Padahal ayam Burgo betina juga memiliki potensi dijadikan sebagai ayam petelur karena disinyalir memiliki kemampuan yang cukup bagus berupa produksi telur yang relatif tinggi.
Dalam upaya domestikasi ayam Burgo (pemeliharaan intensif ataupun semi intensif) sangat tergantung pada keputusan petani untuk melakukan domestikasinya. Nataamijaya (2010) menjelaskan bahwa pengembangan ayam lokal di Indonesia saat ini diarahkan pada peningkatan skala kepemilikan dan perbaikan teknik budidaya dengan mengubah pola pemeliharaan dari pola ekstensif tradisional (sistem umbaran) ke usaha intensif komersial. Menurut National Research Council (1993), ayam peliharaan dari daerah tropis merupakan sumber pangan paling penting di dunia. Namun, usaha peternakan ayam lokal belum berkembang antara lain belum tersedianya bibit unggul serta cara budidaya yang tidak efisien. Di negara berkembang, usaha ternak ayam lokal berperan penting dalam meningkatkan pendapatan masyarakat karena usaha tersebut melibatkan sebagian besar penduduk miskin (Sonaiya, 2007).
Berdasarkan uraian diatas, maka upaya pemeliharaan ayam Burgo secara intensif dapat menjadi salah satu solusi untuk mendukung usaha pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat sekaligus untuk mengambil peran sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan. Dalam studi ini, ayam Burgo betina dipelihara dalam kandang individu ukuran 1,0 x 0,8 m2 sebagai bentuk uji coba sistem pemeliharaan intensif dan diberikan suplementasi daun katuk melalui air minum sebagai salah satu bentuk aplikasi teknologi nutrisi pakan.
Daun katuk merupakan tanaman perdu dengan ketinggian antara 2-3,5 meter, tumbuh tersebar diseluruh asia Tenggara (Sutedja et al,. 1997). Menurut Santoso dan Sartini (2001)daun katuk tua mengandung air 10,8% , lemak 20,8%, protein kasar 15,0%, serat kasar 31,2%, abu 12,7% dan BETN 10,2%.
Daun katuk (Sauropus androgynus) terutama bagian yang muda, telah lama dikenal sebagai salah satu jenis sayur yang lazim dikonsumsi masyarakat (Gibson, 2011; Zueni, 2011). Tanaman ini juga dikenal sebagai sebagai tanaman herbal dan antiseptik (anti kuman dan anti protozoa) karena bisa menyembuhkan borok, bisul, koreng, demam, darah kotor dan frambusia (Irawan, 2003). Selanjutnya daun katuk juga berfungsi untuk melancarkan air susu ibu, sehingga daun katuk banyak diberikan pada ternak perah setelah melahirkan. Daun katuk juga memiliki fungsi sebagai sebagai anti lemak, anti oksidan dan mempengaruhi metabolisme lemak (Santoso et al., 1999).
Selanjutnya Santoso et al. (2003, 2005) menyebutkan bahwa pada ayam petelur Leghorn, suplementasi ekstrak daun katuk berpengaruh sangat positif terhadap produksi telur baik dalam persen, butir maupun gram dan juga bahkan dapat meningkatkan jumlah produksi telur. Lebih lanjut dijelaskan bahwa asam benzoat yang terkandung dalam daun katuk, akan dikonversikan menjadi estradiol-17β benzoat di dalam tubuh. Estradiol-17β benzoat berperan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi dan lebih efisien. Beberapa pustaka lainnya menjelaskan bahwa daun katuk memiliki lima substansi dasar yang berasal dari kelompok asam lemak polyunsaturated dan berfungsi sebagai prekursor yang berperan dalam biosintesa eicosanoids (prostaglandin, prostacycline, thromboxane, lipoxins dan leukotrienes) dan terlibat dalam proses reproduksi dan fisiologi (Ganong, 1993; Suprayogi, 2000), serta kandungan 17-ketosteroid, androstan-17-one, 3-ethyl-3-hydroxy-5-alpha berperan penting pada biosintesa hormon steroid betina (progesteron dan estradiol-17β) (Despopoulos dan Silbernagi, 1991).
Ekstraksi daun katuk diperoleh dengan cara merebus daun katuk dengan air pada suhu 600C selama 30 menit. Perbandingan daun dan air adalah 1 : 6. Setelah itu disaring dan ampasnya direbus kembali. Ekstraksi diulang sebanyak 3 kali. Filtrat yang diperoleh kemudian dibuat seperti pasta pada suhu 500C selama kurang lebih 48 jam.
Menurut Putranto (2010, 2011a) dan Putranto et al. (2007a, b, c; 2010b, c), fakta fisiologi reproduksi berbagai jenis satwa di Indonesia masih banyak yang belum diketahui. Dalam hal ini termasuk fakta fisiologi reproduksi ayam Burgo (Putranto et al., 2010a, b). Padahal diketahui bahwa informasi fisiologi reproduksi jenis unggas endemik Bengkulu ini merupakan data fundamental yang sangat penting untuk dikuasai sebelum dilanjutkan dengan teknologi reproduksi lanjut. Studi tampilan organ reproduksi ayam Burgo betina ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi ekstrak daun katuk yang diberikan melalui air minum terhadap tampilan organ reproduksi dan produksi telur ayam Burgo betina sebagai salah satu upaya mendapatkan informasi dasar fisiologi reproduksinya. Sebagai hipotesa, diperkirakan ekstrak daun katuk yang mengandung prekursor yang berperan dalam biosintesa eicosanoids (prostaglandin, prostacycline, thromboxane, lipoxins dan leukotrienes) dan terlibat dalam proses reproduksi dan fisiologi akan juga mempengaruhi tampilan organ reproduksi dan produksi telur ayam Burgo betina dalam studi ini.
1.2. Rumusan Masalah.
- Bagaimana pengaruh suplementasi daun katuk terhadap ukuran ovarium dan oviduk ayam burgo.?
- Apakah ayam burgo memiliki sumber produksi telur.?
Untuk mengetahui pengaruh suplementasi ekstrak daun katuk yang diberikan melalui air minum terhadap ukuran ovarium, oviduk dan tampilan produksi telur ayam Burgo betina sebagai salah satu upaya mendapatkan informasi dasar fisiologi reproduksinya.
BAB II
PEMBAHASAN
Ayam Burgo merupakan salah satu plasma nutfah Indonesia yang perlu mendapat perhatian dari banyak pihak yang berkepentingan. Sebagai ayam buras lokal, selain karena menyimpan potensi sebagai ayam hias (fancy fowl) (Putranto et al., 2010a, b), unggas ini juga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penghasil telur (Putranto, 2011b). Tetapi sayang sekali, hingga saat ini sistem budidaya dan upaya pembibitan belum diketahui secara pasti apalagi ditunjang oleh fakta bahwa pemeliharaan ayam Burgo masih menggunakan sistem backyard farming. Diharapkan dengan semakin banyaknya publikasi ilmiah dan studi tentang ayam Burgo yang telah dilakukan oleh berbagai pihak akan dapat semakin menempatkan eksistensi ayam Burgo sebagai salah satu plasma nutfah penting Indonesia bahkan di dunia.
Ayam Burgo adalah ayam crossbreed antara ayam hutan merah jantan (Gallus gallus) dan ayam buras betina (Setianto, 2009; Warnoto ,2001). Memiliki ciri spesifik pada jantan dan betinanya yaitu pada bagian cuping telinga memiliki ukuran yang lebar dan berwarna putih. Ditambahkan oleh Setianto (2009), warna putih pada cuping telinga biasanya dijadikan sebagai salah satu kriteria H3: suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari. terhadap keaslian genetiknya. Bentuk tubuh ayam Burgo relatif kecil dibandingkan ayam buras lain pada umumnya, tetapi relatif lebih besar dari ayam hutan merah dan mempunyai warna kaki abu–abu (Warnoto, 2001).
Ayam Burgo betina dalam studi ini mendapatkan perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk dalam 4 aras yaitu nonsuplementasi, 9, 18 dan 27 gr/ekor/hari yang diprediksi dapat mempengaruhi ukuran organ reproduksi betina dan tampilan produksi telurnya. Organ reproduksi betina berupa ovarium dan oviduk memiliki peranan penting dalam proses reproduksi dan produksi telur. Ovarium merupakan bagian utama organ reproduksi yang berfungsi sebagai penghasil folikel atau ovum. Telah diketahui pula bahwa ovarium merupakan tempat sintesis hormon steroid seksual, gametosis dan perkembangan serta pemasakan kuning telur (folikel) (Yuwanta, 2010). Dijelaskan lebih lanjut bahwa ovarium berbentuk seperti buah anggur terletak pada rongga perut berdekatan dengan ginjal sebelah kiri dan bergantung pada ligamentum meso-ovarium. Ovarium terbagi dalam dua bagian, yaitu cortex pada bagian luar dan medulla pada bagian dalam. Cortex mengandung folikel dan pada folikel terdapat sel–sel telur.
Pada Tabel 1 dapat dilihat hasil studi berupa hasil penimbangan berat ovarium sebelah kanan dan kiri dari ayam Burgo betina. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk berpengaruh tidak nyata terhadap rerata berat ovarium ayam Burgo betina baik ovarium sebelah kanan maupun kiri (P> 0,05).
Secara umum berat ovarium unggas pada saat DOC mencapai 0,3 gr dan pada ayam betina umur 12 minggu mencapai 60 gr (Yuwanta, 2010). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa berat ovarium ayam Burgo betina dalam studi ini tergolong rendah. Tercatat berat ovarium ayam Burgo betina bervariasi mulai dari 0,0427gr hingga 0,5128 gr yang keduanya merupakan ovarium sebelah kiri. Rendahnya berat ovarium ayam Burgo betina dalam studi ini diperkirakan akibat konsumsi pakan yang tidak optimal selama studi berlangsung (Gibson, 2011). Selanjutnya ditambahkan oleh Gibson (2011) bahwa perlakuan pemeliharaan intensif dalam kandang individual diperkirakan telah memunculkan gejala cekaman yang mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan ayam Burgo tersebut. Hal ini sesuai dengan laporan Braw-Tal et al. (2004) yang menyatakan bahwa pada saat konsumsi pakan berkurang akan mengakibatkan penurunan berat ovarium, jumlah folikel serta disfungsi dari ovarium.
Walaupun berpengaruh tidak nyata, ternyata suplementasi ekstrak daun katuk telah mengakibatkan ayam Burgo betina memiliki kecenderungan berat ovarium yang lebih tinggi dibanding ayam nonsuplementasi (kontrol). Diduga kandungan senyawa aktif utama dalam daun katuk yaitu estradiol-17β benzoat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan ovum yang lebih banyak (Santoso et al., 2003; 2005). Dengan ovum/folikel yang lebih banyak berarti ovarium menjadi lebih aktif dan menjadi bertambah ukurannya untuk mengakomodir aktifitas tersebut.
Tabel 1. Berat ovarium ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (butir/ekor)
Perlakuan
|
Ovarium kiri
|
Ovarium kanan
|
Repleksi 1
|
Repleksi 2
|
Rerata kiri
|
Repleksi 1
|
Repleksi 2
|
Rerata kanan
|
Probabilitas
| |
H1
|
0,5128
|
0,3003
|
0,4065
|
0,0994
|
0,2326
|
0,166
|
ns
|
H2
|
0,0454
|
0,0578
|
0,0516
|
0,1891
|
0,1819
|
0,185
|
ns
|
H3
|
0,3278
|
0,0427
|
0,1852
|
0,1827
|
0,2053
|
0,194
|
ns
|
H4
|
0,0656
|
0,0559
|
0,0607
|
0,2348
|
0,1051
|
0,169
|
ns
|
Keterangan : H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).
Selanjutnya Tabel 1 memperlihatkan bahwa secara umum ovarium ayam Burgo betina sebelah kanan cenderung lebih berat dibandingkan ovarium sebelah kiri. Salisbury (1985) menyatakan bahwa ovarium unggas sebelah kanan cenderung lebih aktif daripada ovarium sebelah kiri sehingga ovarium unggas sebelah kanan akan lebih besar ukurannya dan lebih berat bobotnya dibanding ovarium unggas sebelah kiri. Profil dan perbandingan ukuran ovarium kanan dan kiri pada ayam Burgo betina dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Parameter yang diamati selanjutnya adalah berat dan panjang oviduk pada ayam Burgo betina. Oviduk merupakan alat reproduksi sekunder pada unggas betina yang merupakan tempat menerima kuning telur masak, sekresi putih telur dan pembentukan kerabang telur (Yuwanta, 2010). Terdapat sepasang oviduk dan merupakan saluran penghubung antara ovarium dan uterus. Bentuknya panjang dan berkelok-kelok yang merupakan bagian dari ductus muller. Ujungnya melebar membentuk corong dengan tepi yang berjumbai (Nalbandov, 1990). Oviduk terdiri dari lima bagian yaitu infundibulum atau funnel, magnum, ithmus, uterus atau shell gland dan vagina (Nesheim et al., 1979).
Tabel 2 memperlihatkan hasil studi berupa hasil penimbangan berat dan pengukuran panjang oviduk ayam Burgo betina.
(Gambar di ambil dari jurnal Heri D. Putranto)
Gambar 1. Profil ovarium ayam Burgo betina yang telah dipisahkan dari jaringan ikat. Keterangan: A= ovarium sebelah kiri, B= ovarium sebelah kanan.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk berpengaruh tidak nyata terhadap rerata berat dan rerata panjang oviduk ayam Burgo betina (P> 0,05). Rerata berat oviduk ayam Burgo betina bervariasi antara 0,6423 gr hingga 9,8178 gr dan rerata panjang oviduk bervariasi mulai dari 3,6 cm hingga 8,2 cm.
Tidak berpengaruhnya ekstrak daun katuk terhadap berat dan panjang oviduk ayam Burgo betina diduga karena umur ayam Burgo yang digunakan pada penelitian ini telah melewati batas awal dewasa kelamin. Ayam burgo betina mencapai dewasa kelamin pada umur 4 – 4,5 bulan (Warnoto, 2001). Yuwanta (2010) menyatakan bahwa ayam yang telah mencapai dewasa kelamin, oviduk telah berkembang sempurna menurut bagian–bagiannya dan masing–masing fungsinya.
Tetapi apabila diamati lebih seksama, rerata berat dan panjang oviduk ayam Burgo betina yang mendapat
Tabel 2. Berat oviduk (gr/ekor) dan panjang oviduk (cm/ekor) ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan.
Perlakuan
|
Ovarium kiri
|
Ovarium kanan
|
Repleksi 1
|
Repleksi 2
|
Rerata kiri
|
Repleksi 1
|
Repleksi 2
|
Rerata kanan
|
Probabilitas
| |
H1
|
4,3432
|
5,0293
|
4,6862
|
6,6
|
5,2
|
5,90
|
ns
|
H2
|
0,6423
|
9,7793
|
5,2108
|
4,9
|
7,7
|
6,30
|
ns
|
H3
|
9,4680
|
9,8178
|
9,6429
|
7,2
|
8,2
|
7,70
|
ns
|
H4
|
6,1856
|
5,3797
|
5,7826
|
3,6
|
5,7
|
4,65
|
ns
|
Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).
perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk cenderung lebih berat dan lebih panjang dibanding ayam Burgo betina nonsuplementasi (kontrol). Menurut Budiasa (2008), ekstrak daun katuk mengandung FSH dan LH yang dapat meningkatkan steroidogenesis yang sebagian besar adalah estrogen, androgen dan progesteron. Hormon-hormon reproduksi tersebut mempunyai peran penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan saluran reproduksi betina. Dengan adanya suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum ayam Burgo betina dalam studi ini, diperkirakan telah menyebabkan bertambah banyaknya produksi hormon reproduksi sehingga ukuran (berat dan panjang) oviduk pada ayam Burgo betina suplementasi menjadi lebih tinggi dibandingkan ayam Burgo betina nonsuplementasi.
Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk berpengaruh tidak nyata terhadap rerata produksi telur ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (P> 0,05). Rerata produksi telur ayam Burgo betina dalam studi ini berkisar antara 15 butir hingga mencapai 26 butir/ekor/8 minggu. Hasil ini studi ini masih sejalan dengan pendapat Warnoto dan Setianto (2009) yang menyatakan bahwa ayam Burgo betina dapat memproduksi telur sebanyak 10–15 butir per periode bertelur atau total sekitar 60 butir per tahun. Lebih lanjut disebutkan bahwa berat telur ayam Burgo relatif lebih ringan daripada ayam kampung, yaitu 26.50 – 35.50 gr untuk ayam Burgo (Warnoto, 2001) dan mencapai 41 gr untuk ayam kampung (Diwyanto and Iskandar, 1999). Ukuran telur yang lebih kecil ini disebabkan oleh karakteristik tubuh ayam Burgo betina yang lebih ringan daripada ayam kampung (Gibson, 2011; Putranto, 2011b).
Jika diamati lebih lanjut, rerata produksi telur ayam Burgo yang mendapat suplementasi ekstrak daun katuk aras 27 gr/ekor/hari cenderung menghasilkan rerata produksi telur yang lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya. Salah satu senyawa yang diduga dapat berperan dalam peningkatan produksi telur adalah asam benzoate (Gibson, 2011).
Tabel 3. Produksi telur ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (butir/ekor)
Perlakuan
|
Replikasi 1
|
Replikasi 2
|
Rerata
|
Probabilitas
|
H1
|
11,0
|
19,0
|
15,0
|
ns
|
H2
|
28,0
|
21,0
|
24,5
|
ns
|
H3
|
29,0
|
19,0
|
24,0
|
ns
|
H4
|
28,0
|
24,0
|
26,0
|
ns
|
Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).
Asam benzoat dalam tubuh dapat dikonversikan menjadi estradiol-17β benzoat. Estradiol-17β benzoat berperan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel (Santoso et al., 2003). Selanjutnya ditambahkan oleh Anonimous (2009), vitamin C dan E yang terkandung dalam pakan terbukti dapat meningkatkan produksi telur. Secara umum diketahui bahwa daun katuk kaya akan zat besi, provitamin A dalam bentuk β-carotene, vitamin C, minyak sayur, protein dan mineral lainnya. Dalam 100 gram daun katuk mengandung 72 kalori, 70 gram air, 4,8 gram protein, 2 gram lemak, 11 gram karbohidrat, 2,2 gram mineral, 24 mg kalsium, 83 mg fosfor, 2,7 mg besi, 31,11 μg vitamin D, 0,10 mg vitamin B6 dan 200 mg vitamin C (Anonimous, 2009).
Walaupun analisis secara statistik memperlihatkan pengaruh yang tidak nyata, hasil studi berupa perlakuan ekstraksi daun katuk ini selaras dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Santoso et al. (2003, 2005) yang menyebutkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk pada ayam petelur berpengaruh sangat positif terhadap produksi telur baik dalam persen, butir maupun gram dan juga bahkan dapat meningkatkan jumlah produksi telur. Asam benzoat yang terkandung dalam daun katuk dikonversikan menjadi estradiol-17β benzoat yang berperan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi dan lebih efisien. Ditambahkan oleh Agustal et al. (1997), daun katuk mengandung beberapa senyawa–senyawa aktif seperti asam benzoat, asam fenil malonat, 2-pyrolidinon dan methyl pyroglutamate yang semuanya dapat berperan dalam peningkatan produksi dan reproduksi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan.
Walaupun data menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk belum mempengaruhi secara optimal terhadap seluruh paramater yang diamati dalam studi ini tetapi terdapat kecenderungan bahwa ekstrak daun katuk dengan kandungan berbagai prekursor dan senyawa aktif didalamnya mampu memberikan pengaruh yang positif terhadap ukuran ovarium dan oviduk serta tampilan produksi telur ayam Burgo betina.
Pemberian ekstrak daun katuk sebanyak 27 gr memberikan pengaruh terhadap produksi telur, berat ovarium walaupun tidak signifikan. Didalam daun katuk terdapat asam benzoate yang dapat dikonversikan di dalam tubuh ayam menjadi estradiol benzoate yang berfungsi sebagai rangsangan dalam pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan ovum lebih banyak. Banyaknya ovum berkaitan dengan banyaknya produksi telur.
DAFTAR PUSTAKA
Agustal, A., M. Harapini, dan Chairul. 1997. Katuk leaves extract (Sauropus androgynus (L) Merr) chemical analysis by using GCMS. Warta Tumbuhan Obat 3 (3): 31-33.
Anonimous. 2009. Manfaat Daun Katuk. http://www.departemenkesehatanrepublik indonesia.go.id. 11 November 2010.
Braw-Tal, R., S. Yossefi, S. Pen, D. Schider dan A. Bar. 2004. Hormonal changes associated with aging and induced moulting of domestic hens. British Poultry Science 45 (6): 204-211.
Nalbandov, A.V. 1990. Reproductive Physiology of Mammals and Birds. UI Press, Jakarta, Indonesia.
Budiasa, M.K., W. Bebas. 2008. Pregnant mares serum gonadotrophin meningkatkan dan mempercepat produksi telur itik Bali yang lambat bertelur. Jurnal Veteriner 9 (1): 20-24.
Gibson, B. 2011. Studi Penggunaan Ekstrak Daun KatukTerhadap Tampilan Organ Reproduksi Ayam Burgo Betina Untuk Perbaikan Kualitas Populasi. Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Bengkulu. Bengkulu. Tesis.
Ganong, W.F. 1993. Review of Medical Physiology 6th Ed. Prentice-Hall International Inc. San Fransisco.
Heri D. Putranto. Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011. pengaruh suplementasi daun katuk terhadap ukuran ovarium dan oviduk serta tampilan produksi telur ayam burgo
Irawan, N. 2003. Pengaruh Pemberian Daun Katuk (Sauropus androginus Merr) dengan Berbagai Metode Ekstraksi Terhadap Kualitas Telur Ayam Petelur. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu. Skripsi.
Nataamijaya, A.G. 2006. Egg production and quality of kampung chicken fed rice bran diluted commercial diet and forages supplement. Journal of Animal Production (8): 206-210.
National Reseach Council. 1993. Managing Global Livestock Resources. Committe on Managing Global Genetic Resources. Agricultural Imperatif. National Academic Press. Washington DC, USA.
Nurmeiliasari. 2003. Burgo chicken population, distribution and the interaction with various ecological factor. Jurnal Raflesia UMB V (2): 52-55.
Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, Y. Fenita, dan Nurmeiliasari. 2010b. A study on population density and distribution pattern of domesticated Bengkulu native burgo chicken. Media Kedokteran Hewan 26 (2): 198-204.
Santoso, U., J. Setianto, dan H. Prakoso. 1999. Peningkatan Efisiensi Pertumbuhan dan Penurunan Jumlah Salmonella sp. Daging Serta Akumulasi Lemak Broiler Oleh Ekstrak Daun Katuk. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Santoso, U., J. Setianto, T. Suteky, dan Y. Fenita. 2003. The Utilization of Katuk Leaves Extract to Improve Environmental Friendly Egg Quality and Production Efficiency. Laporan Penelitian Hibah Pekerti.Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Santoso, U., J. Setianto, dan T. Suteki. 2005. Effect of Sauropus androgynus extract on egg production and lipid metabolism in layers. Asian-Australian Journal of Animal Science 18 (3): 364-370.
Setianto, J. 2009. Ayam Burgo; Ayam Buras Bengkulu. Kampus IPB Taman Kencana. IPB Press. Bogor.
Sutedja, L., L. B. S. Kartono dan H. agustina. 1997. Sifat Anti Protozoa Daun Katuk (Sauropus androgynus Merr). Warta Tumbuhan Obat 3 (3) : 47-48.
Suprayogi, A. 2000. Studies on the Biological Effects of Sauropus androgynus (L) Merr.: Effects on Milk Production and the Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. University Gottingen, Germany. Dissertation.
Sonaiya, E.B. 2007. Family poultry, food security and the impact of HPAI. Journal of World's Poultry Science 63: 132-138.
Warnoto, 2001. Identifikasi, Fenotif, Populasi, Habitat Penyebaran dan Potensi Pengembangan Ayam. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Zueni, A. 2011. The Effect of Katuk Leaves Extract Supplementation on Bengkulu Burgo Chicken Sexual
Santoso, U. dan Sartini. 2001. Reduction Of Fat Accumulation in Broiler Chickens by Sauropus Androgynus (katuk) Leaf Meal Suplementatiom. Asian_Australasian Journal of Animal Science 14 : 346-350
makasih ommmmm
BalasHapus