BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) yang lebih dikenal dengan hama ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman kedelai. Spodoptera litura merupakan hama yang bersifat polifagus yang juga menyerang tanaman tembakau, kapas, kubis, dan kacang hijau. Serangan Spodoptera litura dapat menimbulkan kerusakan sebesar 20-40% pada tanaman kedelai sedangkan pada komoditi kubis serangan ulat grayak dapat menyebabkan penurunan produksi lebih kurang 70%.
Ulat grayak bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hama ini tersebar luas di daerah dengan iklim panas dan lembap dari subtropis sampai daerah tropis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (1993), serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 4.149 ha dengan intensitas serangan sekitar 17,80%. Serangan tersebut menurun pada tahun 1994 menjadi 3.616 ha, dengan intensitas serangan 14,40% (Badan Pusat Statistik 1994).
Luas serangan ulat grayak berkembang dari tahun ke tahun. Kerusakan dan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak ditentukan oleh populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan varietas tanaman. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang sangat signifikan.
Pengendalian Spodoptera litura dapat dilakukan dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengendalian secara terpadu merupakan langkah pengendalian dengan mengikutsertakan beberapa komponen pengendalian, termasuk komponen biologi yaitu predator, parasitoid dan patogen serta pemanfaatan Pestisida Nabati. Pemanfaatan Pestisida nabati untuk mengatasi serangan Spodoptera litura merupakan alternatif pengendalian selain penggunaan insektisida kimia. Penggunaan pestisida sintetis yang berlebihan dan tidak tepat telah menyebabkan dampak negatif baik terhadap serangga dan juga terhadap lingkungan, misalnya timbulnya resistensi hama, resurgensi hama, punahnya musuh-musuh alami dan serangga berguna lainnya serta kontaminasi pada lingkungan seperti pada tanah, air dan produk yang dihasilkan. Hal ini tentu saja akan merugikan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Usaha-usaha untuk menghindari dampak tersebut, saat ini sudah banyak dilakukan usaha secara global untuk mencari pestisida baru yang lebih aman dan ramah lingkungan. Sejalan dengan perundang-undangan yang ada, dimana sistem Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dilakukan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana siklus hidup ulat grayak (Spodoptera litura) ?
2. Bagaimana kerusakan yang disebabkan ulat grayak (Spodoptera litura) ?
3. Bagaimana pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura) ?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui siklus hidup ulat grayak (Spodoptera litura).
2. Mengetahui kerusakan yang disebabkan ulat grayak (Spodoptera litura).
3. Mengetahui pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura).
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Umum Ulat Grayak (Spodoptera litura)
2.1.1. Klasifikasi Spodoptera litura
Menurut Kalshoven (1981) S. litura dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Bangsa : Lepidoptera
Suku : Noctuidae
Marga : Spodoptera
Jenis : Spodoptera litura (F.)
2.1.2. Perilaku dan Fisiologi
Menurut Pracaya (2005) Spodoptera litura F. disebut ulat grayak karena ulat ini dalam jumlah yang sangat besar sampai ribuan menyerang dan memakan tanaman pada waktu malam hari sehingga tanaman akan habis dalam waktu yang singkat. Pada waktu pagi hari petani melihat tanaman yang telah rusak, sedangkan hamanya sudah tidak ada, bersembunyi di dalam tanah. Ulat grayak termasuk dalam keluarga Noctuidae, yang berasal dari bahasa Latin noctua yang artinya burung hantu.
Spodoptera litura F. merupakan hama perusak daun yang bersifat polifag (mempunyai kisaran inang yang luas). Tanaman inangnya antara lain jagung, tomat, kapas, tembakau, padi, kakao, jeruk, ubi jalar, kacang tanah, jarak, kedelai, kentang, kubis, dan bunga matahari (Holloway, 1989).
Ulat Grayak merupakan hewan nocturnal, aktif pada malam hari untuk mencari makanan dan perilaku kawin. Selama siang hari mereka akan bersembunyi di balik daun. Sifat perilaku serangga herbivora yang penting dalam kaitannya dengan interaksi serangga dan tanaman adalah tentang bagaimana langkah-langkah serangga dalam memberikan tanggapan (respons) terhadap rangsangan (stimulus) dari tanaman sehingga serangga herbivora datang dan memakan tanaman tersebut (Untung, 1993).
Ada dua cara yang dilakukan serangga dalam memilih dan menentukan makanan yang dibutuhkannya. Pertama melalui isyarat kemoreseptor yang terdapat pada maksila dan yang kedua adalah respon metabolik. Jika seekor serangga mengkonsumsi makanan yang kekurangan nutrisi maka akan dirasakan oleh organ perasa internal, dalam keadaan tersebut serangga akan bergerak atau mencari sumber makanan yang lain yang memberi pengaruh positif (Waldbaeur & Friedman, dalam Kamal, 1999).
Menurut Schmutterer (1990, dalam Melanie et al., 2002) aktifitas makan (antifeedant) serangga dapat terhenti disebabkan pengaruh zat kimia tertentu yang menstimulasi kemoreseptor kemudian dilanjutkan pada sistem saraf pusat serangga. Pada proses selanjutnya pengaruh zat dapat merusak jaringan tertentu yaitu organ pencernaan, kelenjar penghasil enzim atau jaringan saraf serangga. Sistem pencernaan larva menyesuaikan diri dengan kelangkaan makanan. Jika makanan langka, sistem pencernaan mereka menahan dan memproses nutrisi secara efisien. Ketika makanan melimpah, makanan cepat habis, tidak efisien dan larva mengkonsumsi lebih banyak makanan daripada kebutuhan hidup yang diperlukan (Ellis, 2004). Menurut Sastrodiharjo (1979) penyerapan makanan terjadi pada saluran bagian tengah (midgut) karena memiliki struktur yang tidak memiliki lapisan kutikula, sedangkan pada saluran bagian depan (foregut) dan saluran akhir (hindgut) dilapisi oleh kutikula.
2.1.3. Kerusakan Tanaman Akibat Serangan Larva S. Litura
Spodoptera litura hidup dalam kisaran inang yang luas dan bersifat polifagus. Karena itu hama ini dapat menimbulkan kerusakan serius. Menurut Sudarmo (1993) kerusakan yang ditimbulkan pada stadium larva berupa kerusakan pada daun tanaman inang sehingga daun menjadi berlubang-lubang. Larva instar 1 dan 2 memakan seluruh permukaan daun, kecuali epidermis permukaan atas tulang daun. Larva instar 3-5 makan seluruh bagian helai daun muda tetapi tidak makan tulang daun yang tua.
2.1.4. Daur hidup S. litura
Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorphosis sempurna yang terdiri dari empat stadia hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Perkembangan telur sampai ngengat/imago relatif pendek (Kalshoven, 1981).
a. Telur
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadangkadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25-500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning keemasan (Jauharlina, 1999). Diameter telur 0,3 mm sedangkan lama stadia telur berkisarn antara 3-4 hari (Kalshoven, 1981).
Gambar 1. Telur S. Litura
b. Larva
Larva S. litura yang baru keluar memiliki panjang tubuh 2 mm. Ciri khas larva S. litura adalah terdapat 2 buah bintik hitam berbentuk bulan sabit pada tiap ruas abdomen terutama ruas ke-4 dan ke-10 yang dibatasi oleh garis-garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur sepanjang badan (Arifin, 1992). Lama stadium larva 18-33 hari (Kalshoven, 1981). Sebelum telur menetas, larva yang baru keluar dari telur tidak segera meninggalkan kelompoknya tetapi tetap berkelompok (Indrayani, et, al 1990). Pada stadium larva terdiri dari enam instar dan berlangsung selama 13-17 hari dengan rerata 14 hari.
Gambar 2. Larva S. Litura
c. Pupa
Menjelang masa prepupa, larva membentuk jalinan benang untuk melindungi diri dari pada masa pupa. Masa prepupa merupakan stadium larva berhenti makan dan tidak aktif bergerak yang dicirikan dengan pemendekan tubuh larva. Panjang prepupa 1,4-1,9 cm dengan rerata 1,68 cm dan lebarnya 3,5-4 mm dengan rerata 3,7 mm. Masa prepupa berkisar antara 1-2 hari (Mardiningsih, 1993). Pupa S.litura berwarna merah gelap dengan panjang 15-20 mm dan bentuknya meruncing ke ujung dan tumpul pada bagian kepala (Mardiningsih dan Barriyah, 1995). Pupa terbentuk di dalam rongga-rongga tanah di dekat permukaan tanah (Arifin, 1992). Masa pupa di dalam tanah berlangsung 12-16 hari (Indrayani, et al, 1990).
Gambar 3. Pupa S. Litura
d. Imago
Imago (ngengat) muncul pada sore hari dan malam hari. Pada pagi hari, serangga jantan biasanya terbang di atas tanaman, sedangkan serangga betina diam pada tanaman sambil melepaskan feromon. Perkembangan dari telur sampai imago berlangsung selama ± 35 hari. Faktor density dependent (bertautan padat) yaitu faktor penghambat laju populasi hama ini adalah sifatnya yang kanibal. Sedangkan populasi telur dan larva instar muda dapat tertekan oleh curah hujan yang tinggi, kelembaban yang tinggi yang mana membuat larva mudah terserang jamur. Musim kering dapat berpengaruh pada tanah dalam menghambat perkembangan pupa ( Kalshoven, 1981).
Gambar 4. Imago/Ngengat S. litura
2.2. Pengendalian Spodoptera litura
Untuk mengatasi ulat grayak agak sulit karena seringkali serangan terjadi secara mendadak dan tidak diduga sebelumnya. Untuk mengendalikan ulat grayak diantaranya yaitu dengan pengendalian secara mekanis dan fisik, teknik pengendalian ini bertujuan untuk mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga. Contohnya yaitu dengan mengumpulkan kemudian membinasakan kelompok telur dan ulat yang ada di pertanaman. Pengambilan ini jangan sampai terlambat, sebab apabila ulat telah besar mereka akan bersembunyi di dalam tanah. Selain itu, menggenangi lahan pertanaman, terutama pada stadia vegetatif akhir dan pengisian polong untuk mematikan ulat grayak yang berdiam diri di dalam tanah pada siang hari (Pracaya, 2005; Arifin & Koswanudin, 2011).
Selain dengan pengendalian secara mekanis, untuk mengendalikan dan mengurangi populasi ulat grayak yaitu dengan cara biologi. Pengendalian secara biologi terhadap hama ulat grayak yaitu dengan menggunakan Borrelinavirus litura dan bakteri Bacillus thuringiensis (Pracaya, 2005).
Ulat grayak memiliki berbagai jenis musuh alami antara lain kelompok patogen (nuclear-polyhedrosis virus, Metarhizium anisopliae), parasitoid (telur, Telenomus spodopterae Dodd., larva, Apanteles spp., pupa, Brachimeria spp.), dan predator larva (Paederus fuscipes, Lycosa pseudoannulata, Selenopsis gemminata) (Mardiningsih & Baringbing, 1997). Pengendalian lainnya yaitu dengan menggunakan insektisida kimia dengan cara disemprot, rotasi tanaman, light trap dan penggunaan tanaman perangkap (Pracaya, 2005).
2.2.1. Pengelolaan Terpadu Ulat Grayak
2.2.1.1. Pendekatan Sistem Pengendalian
Berkembangnya resistensi hama terhadap insektisida yang diikuti dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk penggunaan insektisida secara intensif, mendorong perlunya pengendalian hama secara terpadu dengan menekan penggunaan insektisida kimia dan mempertahankan keberlanjutan sistem usaha tani (Carter 1989). Hal ini mendorong penggunaan komponen teknologi pengendalian selain insektisida kimia, seperti azadirachtin dan nucleopolyhedrosis pada ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2006).
Pengendalian hama pada tanaman kedelai diarahkan pada penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Strategi PHT adalah menggunakan secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian hama yang didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Prinsip operasional yang digunakan dalam PHT meliputi :
1) Budidaya tanaman sehat
Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama. Oleh karena itu, penerapan paket teknologi produksi harus diarahkan kepada terwujudnya tanaman yang sehat.
2) Pelestarian musuh alami
Musuh alami (parasit, predator, dan patogen serangga) merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang. Untuk itu, penggunaan insektisida perlu dilakukan secara selektif. Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang mengandung azadirachtin terbukti dapat menekan serangan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2005).
3) Pemantauan ekosistem secara terpadu
Pemantauan ekosistem pertanaman secara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan pengendalian yang diperlukan.
4) Petani sebagai ahli PHT
Yaitu mampu mengambil keputusan dan memiliki keterampilan dalam menganalisis ekosistem untuk menetapkan cara pengendalian hama secara tepat sesuai dengan dasar PHT.
2.2.1.2. Analisis Ekosistem sebagai Dasar Pengendalian Hama
Dalam PHT, pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pengendalian didasarkan atas analisis ekosistem. Analisis ekosistem yang telah ditetapkan dan berfungsi terdiri atas tiga subsistem, yaitu pemantauan, pengambilan keputusan, dan tindakan pengendalian hama.
Pemantauan atau monitoring bertujuan untuk mengamati dinamika agroekosistem secara rutin, baik komponen biotic (keadaan tanaman, intensitas kerusakan, populasi hama dan penyakit, populasi musuh alami, keadaan gulma dan lain-lain) maupun komponen abiotik (curah hujan, suhu, air, angin, dan lain-lain). Pengamatan secara rutin (misal satu minggu sekali) dapat dilakukan oleh petugas pengamat khusus atau oleh petani yang terlatih. Metode pengamatan harus dibuat praktis dan ekonomis, tetapi memiliki tingkat ketelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Subsistem pengambilan keputusan berfungsi untuk menentukan keputusan pengelolaan hama yang tepat yang didasarkan pada analisis data hasil pemantauan yang secara rutin diterima dari subsistem pemantauan. Pengambilan keputusan didasarkan pada model dan teknologi pengelolaan hama yang dikuasai oleh dan tersedia bagi pengambil keputusan.
Keputusan yang diambil oleh pengambil keputusan merupakan berbagai tindakan yang perlu dilakukan pada agroekosistem agar sasaran PHT terpenuhi, termasuk keputusan kapan dan bagaimana pestisida digunakan. Subsistem program tindakan (action program) mempunyai fungsi untuk segera melaksanakan keputusan dan rekomendasi yang dibuat oleh subsistem pengambilan keputusan dalam bentuk tindakan pengendalian atau pengelolaan hama pada unit lahan atau lingkungan pertanian yang dikelola. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh petani perorangan atau secara berkelompok.
2.2.1.3. Komponen Pengendalian
Komponen-komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam penerapan PHT pada tanaman kedelai adalah :
1) Pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami. Penyemprotan dengan insektisida yang berlebihan, baik dosis maupun frekuensi aplikasinya, akan mengancam populasi musuh Alami (parasitoid dan predator).
2) Pengendalian fisik dan mekanik yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama. Pengurangan populasi hama dapat pula dilakukan dengan mengambil kelompok telur, membunuh larva dan imago atau mencabut tanaman yang sakit.
3) Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat menekan populasi hama meliputi :
§ Penanaman varietas tahan
§ Penggunaan benih sehat dan berdaya tumbuh baik.
§ Pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup hama
§ Sanitasi
§ Penetapan masa tanam dan penanaman secara serempak
§ Penanaman tanaman perangkap atau penolak hama
4) Penggunaan agens hayati (pengendalian biologis).
Pengendalian biologis pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama. Musuh alami seperti parasitoid, predator, dan pathogen serangga hama merupakan agens hayati yang dapat digunakan sebagai pengendali ulat grayak (Marwoto 1999).
5) Pestisida nabati untuk mengembalikan populasi hama pada asas keseimbangannya Serbuk biji mimba efektif mengendalikan hama ulat grayak (Susilo et al. 1996). Pestisida kimiawi dapat digunakan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan telah diizinkan. Strategi pengendalian ulat grayak dapat dilakukan berdasarkan pemantauan ambang kendali dan strategi komponen pengendalian, sehingga penerapan PHT yang dilakukan dipilih berdasarkan alternatif pengendalian yang ada.
2.2.2. Cendawan M.anisopliae
M. anisopliae adalah salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk dalam devisi Deuteromycotina : Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia (Lee dan Hou 1989; Tanada dan Kaya 1993; Kanga et al. 2003;Strack 2003).
M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera (Gabriel dan Riyanto 1989; Baehaki dan Noviyanti 1993; Strack 2003). Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa Negara termasuk Indonesia (Gabriel dan Riyanto1989).
Pada awal pertumbuhan, koloni cendawan berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur. Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung, dan beras (Prayogo dan Tengkano 2002). Miselium bersekat, diameter 1,98-2,97 µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96 µm. Cendawan ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman (Barnett dan Hunter 1972; Alexopoulos dan Mims 1979).
Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 2227 (Roddam dan Rath 1997), walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa cendawan masih dapat tumbuh pada temperatur yang lebih dingin (Glare et al.1995; Luz et al. 1998; Bidochka et al.2000). Konidia akan membentuk kecambah pada kelembapan di atas 90% (Millstein et al. 1983), namun demikian Milner et al. (1997) melaporkan bahwa konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembapan udara sangat tinggi hingga 100%. Patogenisitas cendawan M.anisopliae akan menurun apabila kelembapan udara di bawah 86%. Hardaningsih (2001) banyak menemukan cendawan M.anisopliae pada tubuh S.litura di pertanaman kedelai. Widayat dan Rayati (1993a) menemukan M.anisopliae yang menginfeksi beberapa jenis hama seperti ulat api (Setora nitens), ulat jengkal (Ectropis bhurmitra), ulat penggulung daun (Homona cofferia), dan kumbang tanah (Uloma sp.) di perkebunan teh di Jawa Barat.
2.2.3. Biopestisida SlNPV dan HaNPV
Nuclear polyhedrosis virus (NPV) pada S. litura dan H. armigera merupakan salah satu contoh bentuk assosiasi dan dapat digunakan untuk mengendalikan kedua hama tersebut. Jenis NPV yang digunakan untuk mengendalikan S. litura dinamakan SlNPV, sedangkan untuk H. armigera dinamakan HaNPV. Aktivitas NPV berlangsung di dalam perut, sehingga untuk menimbulkan kematian ulat harus menelan NPV bersama-sama dengan makanannya.
Penggunaan SlNPVa secara tunggal terhadap S. litura daya bunuhnya kurang efektif, tidak efektifnya isolat NPV tersebut sangat tergantung dari isolat NPV itu sendiri. Sesuai yang dikemukakan Maddox (1975) dan Starnes et al. (1993) bahwa efektifitas NPV, bergantung pada isolat virus yang mampu dalam waktu singkat membunuh serangga sasaran.
2.2.4. E. annulata
Ulat grayak, Spodoptera litura F., (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu hama yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. S. litura menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif dan generatif yaitu memakan daun tanaman yang muda sehingga tinggal tulang daun dan memakan polong-polong muda (Laoh 2003).
S. litura sering mengakibatkan penurunan produksi bahkan kegagalan panen karena menyebabkan daun dan buah sayuran robek, terpotong-potong dan berlubang-lubang. Bila tidak segera diatasi maka daun atau buah tanaman di areal pertanian akan habis termakan (EPPO 2005). Salah satu kendala dalam peningkatan produksi kacang tanah ialah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). S. litura merupakan hama utama pada kacang tanah. Potensi kehilangan hasil dari serangan S. litura lebih dari 71% (Mallikarjuna et al.2004).
Pengendalian hama tanaman yang di kembangkan dewasa ini adalah menekan jumlah populasi hama yang menyerang tanaman sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan. Komponen pengendalian hama yang dapat di terapkan untuk mencapai sasaran tersebut antara lain pengendalian hayati, pengendalian secara fisik dan mekanik, pengendalian secara kultur teknis dan pengendalian secara kimiawi (EPPO 2005). Pengendalian hama pada tanaman diarahkan pada penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Musuh alami (parasit, predator, dan patogen serangga) merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang (Nathan dan Kalaivani 2005).
Salah satu predator yang cukup potensial sebagai agens hayati adalah cecopet (Ordo : Dermaptera). Diketahui beberapa jenis cecopet yaitu, Anisolabis sp. (Annisolabididae), Euborellia annulata Fabricus (Annisolabididae), Euborellia annulipes Lucas (Annisolabididae) Proreus simulans Stal. (Chelisochidae) (Situmorang & Gabriel 1988). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nurindah dan Bindra (1988) mengemukakan bahwa E. annulata dapat memangsa telur dan larva H. armigera pada pertanaman kapas secara alami hingga 57%. Javier dan Morallo (1991) mengemukakan bahwa E. annulata merupakan predator yang efektif karena dapat memangsa telur, larva, dan pupa penggerak batang jagung O. furnacalis. Selanjutnya E. annulata juga dilaporkan banyak memangsa Bactrocera dorsalis pada tanaman cabai (Annie et al. dalam Labiran, 2006).
Dari beberapa hasil penelitian tersebut diatas menyebutkan bahwa E. annulata banyak memangsa telur dan larva berbagai jenis hama. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan memangsa E. annulata dan preferensinya pada berbagai instar larva S. Litura.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hama ulat grayak merupakan salah satu organisme pengganggu pada tanaman kedelai. Hama ulat grayak dapat berkembang dengan baik pada kelembaban yang kering. Ulat grayak bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan. Spodoptera litura termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorphosis sempurna yang terdiri dari empat stadia hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago.
Pegendalian dengan konsep PHT, seperti : (1) Pengelolaan terpadu ulat grayak; (2) Cendawan M.anisopliae; (3) Biopestisida SlNPV dan HaNPV; dan (4) E. annulata.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1986a. Kerusakan dan hasil kedelai Orba pada berbagai umur tanaman dan populasi ulat grayak Spodoptera litura. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor Tahun 1986.
Arifin, M. dan Sunihardi. 1997. Biopestisida SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 9(5 dan 6): 3-5.
Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. 3 ed. Burgess Publishing Company, Minneapolis, Minnesota. 241 pp.
Carter, H.O. 1989. Agricultural sustainability: an overview and research assessment. Californian Agric. 43: 13-17.
Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian, Jakarta. 39 hlm.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2008. Laporan Luas dan Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta.
EPPO. 2005. Data Sheets on Quarantine Pests : Spodoptera littoralis and S. litura.
Gabriel, B.P. dan Riyanto. 1989. Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sor. Taksonomi, patologi, produksi, dan aplikasinya. Proyek Pengembangan Perlindungan Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 25 hlm.
Hardaningsih, S. 2001. Identifikasi ras jamur entomophaga. Hasil Penelitian Komponen Teknologi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. hlm. 53-59.
Indrayani, Ig, A.A., Winarno, D. & Soebandrijo. 1998. Efektifitas NPV dengan berbagai bahan pembawa Terhadap Spodoptera litura F. dan Helicoverpa armigera H. pada Kapas. Jurnal Littri. 4: 1-7.
Indriyani. I.G.A.A, Subiyakto dan A.A.A Ghotama. 1990. Prospek NPV untuk Pengendalian Ulat Buah Kapas Helicoverpa armigera dan Ulat grayak S. litura. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Revised and Translated by P.A van Der Laan. P.T. Ictiar baru-Van Hoeve. Jakarta. 701. hal.
Kasumbogo Untung. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Laoh, J. H. 2003. Kerentanan larva Spodoptera litura F terhadap virus nuklear polyhedrosis. Skripsi S1 Jurusan Agronomi, Faperta, Universitas Riau. Pekanbaru.
Mardiningsih, Tri. L dan Barriyah Barimbing. 1995. Biologi S.litura F. Pada Tanaman Kemiri. Dalam Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. Perhimbunan Entomologi Indonesia. Balai Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. 96-102 hal.
Marwoto dan Bedjo, 1996. Status resistensi hama ulat daun terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Laporan Teknis Balitkabi Tahun 1995/1996. p. 114-121.
Marwoto dan Suharsono. 2008. Pengendalian dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricus) Pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66, Malang 65101.
Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani. hlm. 37-43. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang, 8-10 Agustus 1991.
Milner, R.J., J.A. Staples, and G.G. Lutton. 1997. The effect of humidity on germination and infection of termites by the hyphomycete, Metarhizium anisopliae. J. Inverterbr. Pathol. (69): 64-69.
Nathan, Sentil S. and K. Kalaivani. 2005. Efficacy of nucleopolyhedrosis virus and azadirachtin on Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Biol. Control 34: 93-98.
Prayogo, Y. 2004. Pemanfaatan cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin untuk mengendalikan hama ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. [Kolokium Pengendalian Hama Terpadu]. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 23 hlm.
Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2004. Pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak terhadap tingkat kematian Spodoptera litura. Dalam Sudjatinah, Umiyati, P. Bintoro, P. Widiyaningrum, I.O. Utami (Ed.). SAINTEKS. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Pertanian (10)3: 209-216.
Riswanto Sinaga. 2009. Uji efektivitas pestisida nabati Hama Spodoptera litura pada Tanaman Tembakau.
Situmorang, J. and B. P. Gabriel. 1988. Biology of two spesies of predatory ear wigs Nala lividipes (Dufour) (Dormaptera:Labiduridae) and Euborellia annulata (Fabricius) (Dermaptera: Carconophoridae). Philipp. Entomol. 7(3): 215-238.
Sudarmo, S. 2005. Pestisida nabati dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta. Oleh: Bayu Aji Nugroho, Sp Popt Ahli Pertama.
Tanada, Y. and H.K. Kaya, 1993. Insect pathology. Academic Press, Inc, Toronto.
Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1993. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai. Dalam Kedelai. Edisi ke2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 295-318.