BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah.
Kopi menjadi salah satu komoditas ekspor penting pada sub sektor perkebunan Indonesia. Komoditas ini mempunyai peranan sangat besar sebagai penghasil devisa negara dan sumber pendapatan petani. Pada tahun 2009, total luas areal perkebunan kopi di Indonesia mencapai 1.266.235 Ha dengan produksi 682.591 Ton. Sekitar 95% dari luas areal perkebunan kopi tersebut merupakan perkebunan rakyat. Secara umum pada perkebunan rakyat, pesatnya peningkatan luas areal tidak diimbangi dengan pesatnya peningkatan produktivitas dan mutu.
Produktivitas kopi Indonesia rata-rata masih rendah yaitu 641,6 kg/ha dari standar 800 kg/ha. Rendahnya produktivitas maupun mutu kopi pada perkebunan rakyat antara lain disebabkan oleh adanya serangan hama penyakit, umur tanaman yang sudah tua dan kurangnya perawatan kebun oleh petani. Selain itu kopi Indonesia umumnya dikenal mempunyai citra mutu yang rendah di pasar internasional, sehingga dihargai rendah.
Serangga hama PBKo (Hypothenemus hampei) menjadi hama sangat merusak pada buah kopi sehingga mengakibatkan penurunan produksi dan kualitas hasil secara nyata karena menyebabkan banyak biji kopi yang berlubang. Kehilangan hasil oleh hama PBKo dapat mencapai lebih dari 50% apabila serangannya tinggi dan tidak dilakukan tindakan pengendalian secara tepat. Tingkat serangan sebesar 20% dapat mengakibatkan penurunan produksi sekitar 10% (Puslitkoka, 2009). Untuk menekan kehilangan hasil oleh hama PBKo, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia - Jember (Puslit Koka) telah menerapkan teknologi perangkap Hypotan.
Tantangan lain pada era perdagangan bebas adalah kopi Indonesia harus bersaing dengan kopi dari negara lain yang kualitasnya tinggi dan diproduksi secara ramah lingkungan. Oleh karena itu, dalam menghasilkan produk pertanian dan mengekspornya ke pasar global, petani harus mampu memenuhi persyaratan yang dituntut konsumen global tentang label lingkungan atau eco-labelling.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu melatih para mahasiswa agroteknologi smester V dalam pembuatan Skripsi di masa yang akan dating, karena dengan begitu, para mahasiswa sekalian supaya tidak sulit lagi pada waktunya nanti, di makalah ini saya membahas tentang Penerapan Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kopi, Tujuannya agar kita dapat mengetahui bagaimana caranya melakukan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu yang baik Pada Tanaman Kopi. Saya harap para mahasiswa dapat memahami dari makalah yang saya buat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengendalian Secara Terpadu
Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam pengendalian hama yang dihasilkan melalui pertemuan panel ahli FAO di Roma tahun 1965. Di Indonesia, konsep PHT mulai dimasukkan dalam GBHN III, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 3 tahun 1986 dan undang-undang No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman, dan dijabarkan dalam paket Supra Insus, PHT menjadi jurus yang dianjurkan (Arifin 2003). Adapun tujuan PHT adalah meningkatkan pendapatan petani, memantapkan produktifitas pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang tidak merugikan tanaman, dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian. Dari segi substansial, PHT adalah suatu sistem pengendalian hama dalam konteks hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, menggunakan berbagai teknik yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama tetap berada di bawah ambang kerusakan ekonomi. Dalam konsep PHT, pengendalian hama berorientasi kepada stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi serta sosial. Dengan demikian, pengendalian hama dan penyakit harus memperhatikan keadaan populasi hama atau patogen dalam keadaan dinamik fluktuasi disekitar kedudukan kesimbangan umum dan semua biaya pengendalian harus mendatangkan keuntungan ekonomi yang maksimal.
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada biaya pengendalian. Karena itu secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan penyakit perlu dilaksanakan (Atman Roja 2009).
Pengendalian hama dan penyakit tanaman kopi secara terpadu sudah dilakukan dengan memadukan kultur teknis dan pemanfaatan agen hayati. Pemanfaatan agen hayati yang sudah di kembangkan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman kopi adalah jamur Beauveria bassiana (Bb) pada pengendalian hama BPko, Bacillus thuringiensis pada pengendalian ulat api, dan Kutu tempurung hijau pada pengendalian penyakit Bercak daun. Pengendalian secara kultur teknis yaitu dengan sanitasi kebun setiap 1 bulan sekali, yang bertujuan untuk memutus siklus hama dan penyakit.
2.2. Fenologi Tanaman Kopi
salah satu permasalahan pada pertanaman kopi adalah serangan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). Informasi mengenai ketahanan tanaman kopi terhadap hama PBKo diperlukan untuk strategi pengendalian dan perakitan varietas tahan. Penelitian ini mengulas ketahanan tanaman kopi terhadap hama PBKo bersumber dari berbagai informasi hasil-hasil penelitian yang menyangkut aspek fenologi tanaman kopi biologi kumbang H. hampei dan interaksi antara inang tanaman kopi dengan kumbang H. hampei. Hama PBKo menyebabkan kerusakan jaringan endosperma biji sehingga terjadi penurunan kualitas biji. Permasalahan hama PBKo lebih serius dijumpai pada kopi robusta (Coffea canefora) dibandingkan pada spesies kopi (Coffea arabica) terkait pada perbedaan tipe pembungaan dan kesesuaian lingkungan tumbuh. Mekanisme ketahanan antisenosis dipengaruhi oleh perbedaan fenologi buah seperti ukuran, bentuk biskus, warna, dan aroma. Tingkat kekerasan kulit tanduk diduga yang berperan dalam mekanisme antibiosis, sedangkan keserempakan waktu pemasakan buah dan ketinggian tempat dapat berpengaruh terhadap ekspresi ketahanan semu. Telah diinformasikan penemuan beberapa klon harapan tahan hasil seleksi yang dapat dimanfaatkan untuk perakitan varietas tahan dan studi mekanisme ketahan PBKo.
2.3. Penerapan PHT Kopi
Salah satu daerah pertanaman kopi terdapat di Malang, Jawa Timur. Petani umumnya menanam kopi di lahan kering (kebun) dengan menggunakan varietas anjuran hasil sambungan antara varietas exelsa sebagai batang bawah dan varietas unggul sebagai batang atas. Varietas tersebut berasal dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur. Tanaman kopi umumnya berumur lebih dari 10 tahun. Populasi tanaman per hektar mencapai 1.462 pohon. Petani kopi mulai menerapkan PHT sejak ada SLPHT tahun 2001/ 2002. SLPHT berlangsung 5-6 bulan dengan interval pertemuan 1- 2 minggu. Setiap kelompok belajar terdiri atas 25 orang yang terbagi menjadi 5 kelompok kecil. Materi SLPHT meliputi: (1) pengenalan hama penyakit dan musuh alaminya, (2) analisis agroekosistem, (3) pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, (4) teknik pemangkasanyang baik, (5) pembibitan, (6) pestisida alami, (7) pembuatan terasering dan rorak, dan (8) sanitasi kebun yang baik. Berikut hasil penerapan empat prinsip PHT oleh petani kopi di Malang, Jawa Timur. Budi Daya Tanaman Sehat Komponen teknologi yang berkaitan dengan budi daya tanaman sehat telah diterapkan oleh petani. Komponen teknologi tersebut meliputi:
(a) pembuatan rorak agar lingkungan kebun makin terjaga;
(b) pembangunan saluran pengairan, terutama pada kebun yang lokasinya berdekatan dengan sumber air, sehingga pada musim kemarau tanaman terhindar dari kekeringan;
(c) pendangiran sesuai dengan kondisi tanaman;
(d) penggunaan pupuk organik seperti kotoran kambing dan pupuk bokasi sebagai sumber hara sekaligus untuk memperbaiki tekstur dan struktur tanah;dan
(e) pemetikan (panen) sesuai anjuran, yaitu petik lesehan, petik merah/tua, dan petik racutan.
2.4. Pelestarian Musuh Alami.
Pelestarian musuh alami pada tanaman kopi telah dilakukan untuk mengendalikan populasi hama penyakit di kebun. Dalam pengendalian hama penyakit, petani tidak menggantungkan pada penggunaan pestisida kimiawi, tetapi melalui pengamatan ekosistem dan membuat kondisi lingkungan agar tidak sesuai bagi perkembangbiakan hama dan penyakit. Pengendalian hama penyakit lebih mengutamakan cara mekanik, biologi, dan penggunaan pestisida nabati. Apabila populasi hama tetap tinggi, petani menggunakan pestisida kimiawi secara bijaksana.
Perubahan aspek ekologi dan lingkungan sangat bergantung pada kemampuan petani menerapkan teknologi PHT, terutama dalam cara pengendalian OPT dan perlakuan terhadap lingkungan kebunnya. Setelah mengikuti SLPHT, penerapan teknologi PHT oleh petani lebih meningkat dibandingkan dengan petani yang belum mengikuti SLPHT. Petani juga lebih tahu dan sadar pentingnya musuh alami serta bahaya penggunaan pestisida kimiawi.
2.5. Pengamatan Agroekosistem Secara Rutin.
Pengamatan hama secara teratur merupakan inti penerapan PHT. Setelah mengikuti SLPHT, sebagian besar (78%) petani telah melakukan pengamatan hama secara teratur. Hasil pengamatan selanjutnya menjadi dasar pengambilan keputusan dalam kegiatan usaha taninya.
Petani Menjadi Ahli PHT dan Manajer di Kebunnya
Dalam menjalankan usaha tani, petani diharapkan mampu mengambil keputusan yang tepat dan benar dalam menerapkan PHT sehingga memberikan hasil yang optimal. Dengan berkelompok, petani dapat memusyawarahkan masalah hama dan penyakit yang ditemui dalam usaha tani kopi untuk mengambil tindakan pengendalian yang tepat. Sebelum mengikuti SLPHT, pengendalian hama diputuskan secara individu. Setelah mengikuti SLPHT, umumnya petani membawa masalah hama dan penyakit di kebunnya ke kelompok untuk dicarikan tindakan pengendalian yang tepat. Keputusan petani untuk melakukan penyemprotan umumnya didasarkan pada kerusakan tanaman. Keputusan tindakan pengendalian hama penyakit pada umumnya memberikan hasil baik. Salah satu tujuan pelatihan SLPHT adalah di samping petani mampu menerapkan teknologi PHT pada usaha taninya, juga dapat menyebarkan teknologi ke petani lain di sekitarnya. Dengan demikian, petani dapat menjadi mitra penyuluh dalam penyebaran teknologi PHT.
2.6. Manfaat Penerapan Teknologi PHT
Salah satu manfaat yang dirasakan petani kopi dalam menerapkan PHT adalah produktivitas kopi meningkat sehingga menambah pendapatan Produktivitas kopi meningkat dari 1.128 kg/ha/tahun (sebelum ikut SLPHT) menjadi 1.641 kg/ha/tahun (setelah mengikuti SLPHT) atau naik 45,5%. Peningkatan produksi tersebut selanjutnya meningkatkan pendapatan dari Rp3.686.959 menjadi Rp5.164.383 atau naik 40%. SLPHT berhasil meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam budi daya kopi. Petani mampu mengenali hama penyakit kopi serta musuh alaminya, serta mengamati secara dini serangan hama. Dengan mengenal hama panyakit tanaman kopi dan musuh alaminya, penggunaan pestisida kimiawi menjadi berkurang. Petani menyadari bahwa penggunaan pestisida kimiawi secara berlebihan akan berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan (Adang Agustian).
2.7. Teknologi Pengendalian Hama Terpadu.
Istilah PHT atau Integrated Pest Management (IPM) sejak semula telah disadari sebagai suatu konsep atau paradigma yang dinamis, dan selalu menyesuaikan diri dengan dinamika ekosistem pertanian dan sistem sosial ekonomi budaya masyarakat setempat. Pengembangan konsep PHT di dunia menjadi dua paradigma yaitu Technological Integrated Pest Management (PHT Teknologi atau disebut juga PHT Klasik) dan Ecological Integrated Pest Management (PHT Ekologi) (Waage,1996 dalam Untung, 2003).
Penetapan strategi dan teknik pengendalian hama yang dilakukan petani atau yang direkomendasikan oleh lembaga pemerintah selalu dilandasi oleh suatu pendekatan, prinsip atau paradigma tertentu. Saat ini, terdapat 4 paradigma perlindungan tanaman yang diterapkan yaitu:
(a) perlindungan tanaman tradisional,
(b) perlindungan tanaman konvensional,
(c) PHT Klasik atau PHT teknologi, dan
(d) PHT ekologi.
Di Indonesia, program PHT muncul sejak tahun 1986 yaitu dengan keluarnya Inpres No.3 tahun 1986. Esensi program tersebut yaitu dalam rangka menciptakan sistem pertanian yang berwawasan lingkungan. Definisi klasik Pengendalian Hama Terpadu merupakan suatu sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dan seserasi mungkin untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada suatu aras yang berada di bawah aras populasi hama yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (Untung, 2003).
Definisi tersebut tampaknya menjadi acuan dalam mengembangkan PHT sebelum terselenggaranya SL-PHT. Hal ini tercermin pada pengertian PHT yang dikemukakan Yusdja (1992) bahwa PHT adalah suatu sistem pengelolaan hama (dalam arti yang luas) dengan menggabungkan berbagai teknik pengendalian yang serasi dengan sasaran menjadi satu program, agar populasi hama selalu berada pada tingkat yang tidak menimbulkan kerugian ekonomis (ekologis dan sosial diterima), sehingga menghasilkan keuntungan ekonomis yang maksimal bagi produsen, konsumen dan melestarikan lingkungan. Dengan demikian sumberdaya pertanian dapat dimanfaatkan sepanjang masa oleh generasi-generasi yang akan datang.
Pendekatan yang digunakan dalam PHT adalah pendekatan komprehensif yang menekankan pada ekosistem yang ada dalam lingkungan tertentu, mengusahakan pengintegrasian berbagai teknik pengendalian yang kompatibel sehingga populasi hama dan penyakit tanaman dapat dipertahankan di bawah ambang yang secara ekonomis tidak merugikan, serta melestarikan lingkungan dan menguntungkan bagi petani. Pada perkebunan rakyat, kegiatan sosialisasi PHT melalui SL-PHT telah dimulai semenjak tahun 1997 melalui beberapa tahapan yaitu:
(a) pelatihan untuk Pemandu Lapang (PL);
(b) Petani Try out dan Murni, dan
(c) Petani tindak lanjut (petani alumni SL- PHT). Materi dasar dalam pelatihan itu sama yaitu memotivasi petani untuk melaksanakan 4 prinsp PHT, yakni:
1) budidaya tanaman sehat,
2) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami,
3) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan
4) petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya. Untuk menerapkan prinsip dasar tersebut petani dibekali berbagai materi yang meliputi:
· pembibitan,
· pemupukan,
· pemangkasan,
· pemetikan,
· analisis agroekosistem (OPT, musuh alami, tanaman utama, tanaman disekitarnya, abiotik/cuaca);
· produksi agensi pengendalian hayati,
· panen dan
· kelembagaan petani.
2.8. Tingkat Adopsi Teknologi PHT
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan budidaya komoditas perkebunanrakyat kopi antara lain terdapatnya gangguan hama penyakit yang berdampak terhadap produktivitas dan kualitas hasil. Upaya untuk meningkatkan produktivitas maupun kualitas produk dihasilkan dari tanaman yang sehat dan terbebas dari serangan/gangguan hama dan penyakit. Upaya penanggulangan hama penyakit yang pernah dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia memang cukup berhasil, namun disamping memerlukan biaya yang tinggi dampak lainnya adalah munculnya resistensi hama penyakit, munculnya peledakan hama secara massal dan terbunuhnya organisme bukan sasaran serta pencemaran lingkungan (Rachmat, et al., 1999).
Melalui kegiatan SLPHT perkebunan rakyat, maka para petani diharapkan dapat mengatasi kendala tersebut melalui ilmu-ilmu yang didapatkan pada saat mengikuti SLPHT. Kegiatan SLPHT pada dasarnya memberikan bekal pengetahuan kepada petani agar dalam melakukan perlindungan tanaman yang dibudidayakannya senantiasa diarahkan pada konsep PHT melalui pemanfaatan musuh alami, biopestisida serta penerapan kultur teknis dengan mempertimbangkan aspek ekologi dan ekonomi. Seringkali pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan masalah perlindungan tanaman di tingkat petani tingkat penerapannya (adopsi) relatif beragam. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa respon petani cukup beragam dalam menyerap serta mengaplikasikannya pada kegiatan usahatani perkebunan. Berikut ini disajikan sintesis atas tingkat penerapan teknologi PHT pada usahatani perkebunan rakyat dengan komoditas kopi.
Hasil penelitian Hendiarto dan Supriatna (2004) menunjukkan bahwa petani kopi yang pernah mengikuti SLPHT (alumni SLPHT) pada umumnya mampu menyerap pengetahuan yang diberikan dalam kegiatan sekolah lapang, seperti pengetahuan tentang musuh alami; pestisida nabati, pupuk organik/bokashi dan lainnya. Disamping itu, telah terjadi peningkatan keterampilan dalam cara budidaya tanaman yang baik, benar dan efisien. Petani alumni SL-PHT telah terampil dalam kegiatan-kegiatan seperti penyambungan entris, pengaturan pembuatan rorak, cara pemangkasan, pembuatan pupuk organik dan utamanya dalam kegiatan pengendalian hama/penyakit tanaman kopi. Jika dibandingkan dengan petani yang belum mengikuti sekolah lapang (SL-PHT), pengetahuan dan keterampilan yang dimilki petani alumni SL-PHT relatif lebih tinggi, terutama dalam hal pengendalian hama, dan mengetahui pentingnya musuh alami serta bahaya penggunaan pestisida an-organik.
Ragam teknologi yang diterapkan petani kopi ini di sajikan yaitu tingkat penerapan teknologi pemangkasan, penggunaan bibit unggul, melestarikan musuh alami dan penggunaan pestisida an-organik tidak berlebihan telah dilakukan oleh 100 persen responden petani alumni SLPHT. Sementara penggunaan pupuk secara optimal, penggunaan pestisida nabati dan pengamatan hama secara teratur diterapkan oleh sekitar 50-77,50 persen responden petani alumni SLPHT. Menurut hasil penelitian Wiryadiputra, et al. (2003), bahwa adopsi teknologi PHT oleh petani dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: tingkat pengetahuan/pendidikan petani, tingkat sosial ekonomi, tingkat prioritas usahatani kopi, dan harga jual komoditas kopi. Lain halnya dengan tingkat penerapan teknologi PHT pada petani teh, menurut hasil penelitian Winarso dan Darwis (2004) bahwa beberapa komponen teknologi PHT masih rendah di terapkan oleh petani. Anjuran
teknologi tentang penggunaan pupuk secara optimal tampaknya masih sangat rendah (2,50%) diterapkan oleh petani teh. Hal ini antara lain disebabkan kurangnya modal usahatani yang mengakibatkan para petani tidak dapat melakukan pemupukan sesuai dosis optimal yang dianjurkan. Begitu pula halnya dengan anjuran penggunaan pestisida anorganik/ kimiawi yang tidak berlebihan baru diterapkan hanya oleh sekitar 12,50 persen petani.
Para petani teh, masih lebih banyak mengandalkan pestisida kimiawi dalam mengendalikan hama penyakit yang menyerang tanaman teh. Respon pestisida kimiawi yang secara langsung mengatasi hama menjadi alasan petani untuk tetap bertahan dalam penggunaannya. Alasan itulah yang menjadi penyebab rendahnya pengendalian hama penyakit dengan memanfaatkan pestisida nabati. Terkait dengan masih tingginya pengendalian hama dengan pestisida pada tanaman teh, hasil penelitian Siswanto, et al.(1999) mengungkapkan bahwa fakta dilapangan pada petani teh dalam pengendalian hama penyakit masih mengandalkan pestisida, dan meskipun ada gejala penurunan dalam penggunaannya hanya diakibatkan karena semakin mahalnya harga pestisida di tingkat petani. Sementara itu, tingkat penerapan/adopsi komponen teknologi PHT oleh petani teh telah menunjukkan respon yang memadai dalam upaya pelestarian terhadap musuh alami (76,25%), pemangkasan tanaman teh secara teratur (88,75%), dan pengamatan hama secara teratur (72,50%). Menurut Nurindah et al. (2003), Prinsip pemanfaatan musuh alami secara optimal dalam pengendalian hama terpadu juga dilakukan pada penerapan PHT tanaman kapas.
Penggunaan varietas kapas yang tahan atau toleran terhadap wereng kapas merupakan kunci untuk dapat diterapkannya PHT yang mengutamakan konservasi musuh alami. Selanjutnya, pada kasus penerapan teknologi PHT pada tanaman lada di ketahui bahwa komponen teknologi PHT, seperti pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, penggunaan pestisida tak berlebihan, mengupayakan pelestarian musuh alami dan pengamatan OPT secara teratur telah dilaksanakan oleh sekitar 75 - 95 persen petani. (Agustian, dan Hidayat, 2004).
Sementara, penerapan teknologi PHT yang dilaksanakan oleh petani lada alumni SLPHT adalah terkait pengendalian OPT dengan pestisida nabati hanya 5 persen, penggunaan pestisida an-organik tidak berlebihan (10%) dan Penggunaan pupuk secara optimal (40%). Rendahnya penggunaan pestisida nabati disebabkan oleh kebiasaan petani menggunakan pestisida kimiawi, dan sulitnya memperoleh bahan untuk pestisida nabati (seperti akar tuba atau gadung).
Hal yang sama dengan petani lada karena alasan respon pestisida kimiawi secara langsung mengatasi hama menjadi alasan petani untuk tetap bertahan dalam penggunaannya. Menurut Mulya et al. (2003) bahwa dalam rangka memperbaiki implementasi penerapan PHT lada diperlukannya peningkatan pengenalan (pengetahuan) tentang penyakit busuk pangkal batang lada (BPB) telah banyak merusak tanaman lada di Bangka Selatan. Para petani dan petugas umumnya belum mengenal seara baik gejala BPB, dan oleh karena itu pengenalan gejala BPB merupakan bagian dari kurikulum SLPHT. Hal senada juga sejalan dengan hasil penelitian Syafaat et. al. (2003) bahwa tingkat penerapan atau adopsi teknologi PHT pada petani kapas hanyalah berkisar antara rendah hingga sedang. Hasil penelitian lainnya(Prasetyo dan Agustian, 2003) menyebutkanbahwa introduksi teknologi PHT hendaknya lebih ditingkatkan dan disebarluaskan lagi dikalangan para petani jambu mete. Hal ini disebabkan secara umum pengetahuan dalam pengendalian hama penyakit yang ramah lingkungan masih terbatas pada petani. Menurut hasil penelitian Supriadi et al. (2003), bahwa pemahaman terhadap penyakit busuk akar sangat penting bagi petani jambu mete, mengingat penyakit busuk akar merupakan penyakit utama yang menyebabkan kematian baik pada pohon muda maupun pohon yang sudah berproduksi. Penyakit busuk akar cenderung meluas dari waktu kewaktu.
Berbagai faktor eksternal memiliki peran yang cukup besar dalam penerapan teknologi PHT seperti:
(1) intensitas penyuluhan yang memadai,
(2) ketersediaan sarana input dan biopestisida yang dapat diakses secara massal, mudah dan terjangkau oleh kemampuan ekonomi petani,
(3) menggunakan varietas benih/bibit yang baik dan unggul sehingga dapat memperoleh produktivitas yang tinggi,
(4) pelaksanaan pemanduan SLPHT dilakukan secara terpadu dengan melibatkan secara aktif mulai dari petani, penyuluh pertanian, petugas SLPHT, kelembagaan pemasaran input dan output, dinasdinas terkait, dan peneliti,
(5) terdapatnya insentif harga jual hasil yang memadai sehingga petani yang menerapkan teknologi PHT akan semakin bergairah dalam aktivitas usahataninya.
Mengingat kondisi lahan perkebunan dan petani pekebun yang berskala kecil (perkebunan rakyat), maka pengorganisasian diantara petani dalam penerapan PHT merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan PHT. Pengelolaan ekosistem perkebunan dalam menekan populasi hama serta penggunaan pestisida tidak mungkin dilakukan oleh petani yang bekerja sendiri. Dengan demikian, maka pengelompokkan petani dalam organisasi kelompok tani yang kompak dan bekerja secara kontinyu tentu akan lebih efisien dalam mencapai tujuan penerapan PHT.
2.9. Perubahan Sikap da Perilaku Petani.
Sekolah Lapang PHT merupakan introduksi teknologi dalam perlindungan tanaman dan pemberdayaan kelompok tani yang diharapkan dapat menyampaikan pengetahuan dan keterampilan secara efektif. Konsep SLPHT pertama kali diterapkan pada petani padi sawah, dan karena dipandang berhasil maka sekolah lapang juga diterapkan pada usahatani di subsektor lainnya yakni dalam hal ini adalah perkebunan rakyat.
Secara konseptual sekolah lapang PHT merupakan program yang cakupannya luas dan cukup komprehensif dalam pendekatan perlindungan dan budidaya tanaman serta dilakukan secara berjenjang dalam pelatihannya. Transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan dilakukan mulai dari pelatihan PL-1 (Pemandu Lapang-1), lalu pelatihan PL-2. Pelaksanaan pelatihan membutuhkan waktu, dengan pengajar yang sesuai dengan bidangnya dan memadukan antara teori dan praktek. Cakupan yang luas dari program ini dimungkinkan terdapatnya kontinyuitas program dengan pendekatan multi years program dan menghindari replikasi program pada lokasi dan sasaran yang sama. Dengan metode seperti ini, maka diharapkan pada suatu waktu seluruh petani mendapat pengetahuan dan keterampilan tentang PHT dan budidaya tanaman perkebunan secara lebih baik. Perubahan pengetahuan tentang manfaat teknologi PHT pada petani kopi cukup baik kemajuannya dengan respon petani antara 62,2 – 100%. Perubahan pengetahuan akan manfaat PHT, petani alumni SLPHT secara dominan (62,5 – 100,0%) menyatakan merasakan terdapatnya perubahan pengetahuan akan manfaat teknologi PHT. Kelompok tani pun, setelah munculnya kegiatan SLPHT menjadi lebih aktif seperti ditunjukkan oleh respon petani yang mencapai 65,00%. Sikap petani setelah mengikuti SLPHT, jika terdapat serangan hama penyakit pada tanamannya meskipun masih tetap melakukan penyemprotan dengan pestisida namun petani telah melakukan pengamatan terlebih dahulu (50,00%) dan pengendalian dilakukan sesuai anjuran teknologi PHT (52,50%). Disamping itu, sudah tidak ada petani (0,00%) yang membiarkan tanamannya bila terdapat serangan hama penyakit.
Berbeda halnya dengan petani kopi, petani teh, ternyata perubahan pengetahuan tentang ambang pengendalian hama penyakit dan pestisida nabati relatif rendah yaitu 5,50 dan 28,00% petani. Kegiatan kelompok tani hanya 48,50% menjadi lebih aktif. Sikap petani setelah mengikuti SLPHT: Jika terdapat serangan hama penyakit, tetap melakukan penyemprotan dengan pestisida (43,50%), dengan melakukan pengamatan terlebih dahulu (41,00%) serta melakukan pengendalian sesuai anjuran teknologi PHT (32,50%). Lebih dari pada itu sudah tidak ada lagi petani (0,00%) yang membiarkan tanamannya bila terdapat serangan hama penyakit.
Perubahan pengetahuan tentang ambang pengendalian hama penyakit dan pestisida nabati pada petani lada ternyata sangat rendah yaitu 0,00 dan 2,50% petani. Sementara pada kelompok tani, setelah munculnya kegiatan SLPHT sebesar 60,00% petani menyatakan menjadi lebih aktif. Sikap petani setelah mengikuti SLPHT, jika terdapat serangan hama penyakit pada tanaman lada masih tetap melakukan penyemprotan dengan pestisida (45,00%), dengan melakukan pengamatan terlebih dahulu (70,00%) dan melakukan pengendalian sesuai anjuran teknologi PHT (32,50%). Sementara itu, menurut persepsi aparat atau petugas lapang dengan adanya sekolah lapang dianggap menjadi pendekatan yang lebih efektif dibanding dengan program kursus pertanian yang hanya menekankan aspek teoritis semata (Prasetyo et al., 2001).
Keaktifan sekolah lapang yang didukung oleh keterlibatan langsung PL-1 dan PL-2 yang membedakan dengan program pelatihan lainnya yang kerap lebih kental muatan administrasinya.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa penerapan PHT harus dilakukan, mengingat kondisi lahan perkebunan kopi dan petani sangat kecil, maka pengorganisasian petani dalam penerapan PHT merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan PHT. Pengelolaan ekosistem perkebunan dalam menekan populasi hama serta penggunaan pestisida tidak mungkin dilakukan oleh petani yang bekerja sendiri. Oleh karena itu, upaya memperkuat kelembagaan kelompok tani merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan kinerja aksi kolektif secara serempak dalam pengendalian hama penyakit tanaman perkebunan rakyat, sekaligus meningkatkan efektivitas penerapan teknologi PHT.
Penerapan teknologi PHT pada komoditas Kopi dapat meningkatkan keuntungan usahatani secara signifikan. Persentase peningkatan keuntungan usahatani yang diraih lebih tinggi dibanding dengan peningkatan biaya usahataninya. Untuk menjamin keberlanjutan PHT juga perlu kematangan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi serta pembinaan dan dukungan yang dilakukan oleh semua unsur pemerintah baik dari pusat maupun daerah. Disamping itu, perlu melibatkan secara aktif penyuluh pertanian dalam kegiatan SLPHT untuk menjadi pemandu lapang. Untuk menjamin keberlanjutan PHT juga diperlukan kelembagaan PHT mulai dari tingkat pusat sampai daerah.
3.2. Saran
Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa dengan pengorganisasian petani terhadap penerapan PHT sangat penting, maka dari itu saya sebagai mahasiswa menyarankan kepada pemerintah agar melakukan pembukaan wawasan kepada para petani secara intensive agar menghasilkan kualitas petani yang unggul, inovatif, dan kreatif.
BAB IV
PENUTUP
4.1. PENUTUP
Pada pembuatan makalah ini, saya sebagai penulis meminta maaf atas segala kekurangan dari makalah ini, karena saya masih dalam tahap belajar, saya mengharapkan kritik dan saran dari saudara sekalian supaya saya bisa memperbaiki kekurangan saya dalam pembuatan makalah ini, mungkin hanya itu saja yang dapat saya sampaikan, terima kasih atas perhatiannya.
Wassalamualaikum wr. Wb …
DAFTAR PUSTAKA
· Adang Agustian dan Benny Rachman, Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu Pada Komoditas Perkebunan Rakyat, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Perspektif Vol. 8 No. 1 / Juni 2009. Hlm 30 – 41.
· MAIN SESE INDA LAILA, NURARIATY AGUS, DAN ANNIE P. SARANGA, Aplikasi Konsep Pengendalian Hama Terpadu untuk Pengendalian Hama
Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei), J. Fitomedika. 7 (3): 162 – 166 (2011).
· Adang Agustian, Penerapan Pengendalian Hama Terpadu
pada Kopi di Jawa Timur, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 30, No. 6, 2008.
· Maikel Tuturop, Daniel Lantang dan M.Kamarea, Upaya Pemanfaatan Ekstrak Biji Keben Barringtonia asiatica (L) Kurz terhadap Kematian Kutu Tempurung Hijau Coccus viridis pada Tanaman Kopi Coffea sp, Vol 1, No 2, 2009.
· Steven F. Railsback∗, Matthew D. Johnson, Pattern-oriented modeling of bird foraging and pest control in coffee farms, Article history: Received 6 April 2011 Received in revised form 7 July 2011 Accepted 9 July 2011.
· Luis F. Aristiza´ bal, Olga Lara,3 and Steven P. Arthurs, Implementing an Integrated Pest Management Program for Coffee Berry Borer in a Specialty
Coffee Plantation in Colombia, VOL. 3, NO. 1, 2012.
· Coleoptera: Curculionidae: Scolytinae, Coffee Berry Borer, Hypothenemus hampei (Ferrari), No. 10-01 March 2011