PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Padi (bahasa latin: Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Padi diduga berasal dari India atau Indocina dan masuk ke Indonesia dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan Asia sekitar 1500 SM.
Di Indonesia padi merupakan sumber pangan utama, lebih dari 70% penduduk Indonesia mengonsumsi olahan padi. Oleh karena itu budidaya tanaman padi dilakukan secara besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan, ketahanan, dan permintaan pangan.
Sehubungan dengan itu pula, akibat dari penanaman secara monokultur demi penyediaan kebutuhan nasional siklus hidup hama dan penyakit tanaman padi menjadi semakin meningkat. Hal ini dikarenakan selalu tersedianya makanan, tempat hidup hama dan penyakit serta penggunaan pestisida kimia secara tidak bijak yang mengakibatkan resurjensi hama dan penyakit yang mengakibatkan membludaknya populasi hama diikuti pula oleh kerugian nyata terhadap produksi padi di Indonesia.
PHPT adalah suatu konsep pengendalian hama dan penyakit yang didalamnya menggunakan berbagai macam pengendalian, baik fisik, mekanik, kimia dan biologi yang dimana pengendaliannya diatur berdasarkan aras luka ekonomi dan adanya Keseimbangan Umum. PHPT merupakan jawaban dari segala permasalahan yang kompleks dalam masalah hama dan penyakit tanaman yang selama ini pengendalian dengan pestisida kimia yang merusak alam, PHPT adalah suatu sistem pengendalian yang baik dimana tidak dari segi keampuhan mengusir OPT saja melainkan pula memperhatikan aspek ekologis.
1.2 Tujuan
- Mendeskripsikan apa yang dimaksud konsep Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu.
- Menerangkan sejarah pengembangan PHPT di Indonesia.
- Menerangkan cara pengenalan konsep PHPT di masyarakat.
- Mendeskripsikan PHPT pada tanaman Padi.
1.3 Rumusan Masalah
- Apa itu Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu ?
- Bagaimana sejarah PHPT di Indonesia ?
- Bagaimana cara menerapkan konsep Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu ?
- Bagaimana Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu pada tanaman Padi ?
BAB II
ISI
2.1 Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu
Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam pengendalian hama yang dihasilkan melalui pertemuan panel ahli FAO di Roma tahun 1965. Di Indonesia, konsep PHT mulai dimasukkan dalam GBHN III, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 3 tahun 1986 dan undang-undang No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman, dan dijabarkan dalam paket Supra Insus, PHT menjadi jurus yang dianjurkan. (Arifin dan Iqbal, 1993; Baco, 1993; Soegiarto, et, al., 1993). Adapun tujuan PHT adalah meningkatkan pendapatan petani, memantapkan produktifitas pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang tidak merugikan tanaman, dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian.
Filosofi pengendalian hama menyangkut tiga dasar pokok pengendalian perangkat lunak (soft control), satu dasar pokok pengendalian perangkat keras (hard control), dan lintasan kritis (critical path) (Baehaki 1992). Tiga dasar pokok pengendalian de-ngan perangkat lunak adalah kultur teknis, varietas unggul, dan musuh alami. Satu dasar pokok perangkat keras adalah pengendalian langsung dengan membunuh hama berdasar nilai ambang ekonomi yang merupakan lintasan kritis pemandu pengendalian perangkat keras.
Dasar filosofi tersebut kemudian dijabarkan dalam taktik-taktik pengendalian yang disesuaikan dengan masalahnya. Taktik pengendalian dengan tanaman inang tahan paling banyak digunakan. Keuntungan penggunaan tanaman inang tahan dalam pengendalian hama adalah bersifat permanen dalam beberapa hal ataupersisten untuk jangka waktu yang lama, kompatibel dengan taktik atau metode pengendalian lainnya, selaras dengan sistem ekologi dan lingkungan, selaras dengan upaya peningkatan produksi secara ekonomi, aman, efektif, dan mudah diadopsi (Anonymous 2002a).
Taktik kultur teknis (cultural control atau ecological management) adalah taktik memanipulasi lingkungan untuk membuat ketidakcocokan hama pada suatu lingkungan dengan cara mengganggu siklus reproduktif, mengeliminasi makanan, dan membuat lingkungan lebih cocok untuk perkembangan musuh alami. Walaupun sudah tergolong tua, metode kultur teknis masih efektif menekan tingkat serangan hama dan diterima luas dalam implementasi teknologi PHT. Tujuan akhir dari taktik kultur teknis adalah menemukan link yang lemah dari siklus musiman hama sehingga hama tidak berkembang (Anonymous 2002b). Taktik pengendalian hayati sebagai isu lingkungan berskala internasional mem-punyai keunggulan yaitu dapat bersifat permanen dalam mempertahankan populasi hama pada tingkat yang aman, tidak mencemari lingkungan, ekonomis, dan kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya. Namun demikian, teknik pengendalian hayati dalam implementasinya tidak dapat mengatasi setiap masalah hama (Anonymous 2002c).
Taktik pengendalian yang banyak dipakai saat ini adalah penggunaan insektisida manakala usaha dengan taktik yang telah disebutkan di atas tidak berhasil. Oleh karena itu, insektisida kimia tampaknya masih diperlukan meskipun penggunaannya harus dibatasi (Anonymous 2002d).
Dari segi substansial, PHT adalah suatu sistem pengendalian hama dalam konteks hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, menggunakan berbagai teknik yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama tetap berada di bawah ambang kerusakan ekonomi. Dalam konsep PHT, pengendalian hama berorientasi kepada stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi serta sosial. Dengan demikian, pengendalian hama dan penyakit harus memperhatikan keadaan populasi hama atau patogen dalam keadaan dinamik fluktuasi disekitar kedudukan kesimbangan umum dan semua biaya pengendalian harus mendatangkan keuntungan ekonomi yang maksimal (Arifin dan Agus, 1993). Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada biaya pengendalian (Soejitno dan Edi, 1993). Karena itu secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan penyakit perlu dilaksanakan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, PHT tidak lagi dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam penyelesaian masalah lapangan (Kenmore 1996). Waage (1996) menggolongkan konsep PHT ke dalam dua kelompok, yaitu konsep PHT teknologi dan PHT ekologi. Konsep PHT teknologi merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep awal yang dicetuskan oleh Stern et al. (1959), yang kemudian dikembangkan oleh para ahli melalui agenda Earth Summit ke-21 di Rio de Janeiro pada tahun 1992 dan FAO. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi peng-gunaan insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi se-bagai dasar penetapan pengendalian hama. Pendekatan ini mendorong penggantian pestisida kimia dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan bahan dan metode hayati, termasuk musuh alami, pestisida hayati, dan feromon. Dengan cara ini, dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi (Untung 2000).
Konsep PHT ekologi berangkat dari perkembangan dan penerapan PHT dalam sistem pertanian di tempat tertentu. Dalam hal ini, pengendalian hama didasarkan pada pengetahuan dan informasi tentang dinamika populasi hama dan musuh alami serta keseimbangan ekosistem. Berbeda dengan konsep PHT teknologi yang masih menerima teknik pengendalian hama secara kimiawi berdasarkan ambang ekonomi, konsep PHT ekologi cenderung menolak pengendalian hama dengan cara kimiawi.
Dalam menyikapi dua konsep PHT ini, kita harus pandai memadukannya karena masing-masing konsep mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal ini disebabkan bila dua konsep tersebut diterapkan tidak dapat berlaku umum.
a. Pengertian Ambang Ekonomi
Menurut Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi adalah batas populasi hama atau kerusakan oleh hama yang digunakan sebagai dasar untuk digunakannya pestisida. Diatas AE populasi hama telah mengakibatkan kerugian yang nilainya lebih besar daripada biaya pengendalian.
Menurut Stern et al (1959) cit. Soejitno dan Edi (1993), Ambang Ekonomi adalah kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk mencegah peningkatan populasi hama berikutnya yang dapat mencapai Aras Luka Ekonomi, ALE (Economic Injury Level). Sedangkan ALE didefinisikan sebagai padatan populasi terendah yang mengakibatkan kerusakan ekonomi. Kerusakan ekonomi terjadi bila nilai kerusakan akibat hama sama atau lebih besarnya dari biaya pengendalian yang dilakukan, sehingga tidak terjadi kerugian. Dengan demikian AE merupakan dasar pengendalian hama untuk menggunakan pestisida kimia.
AE ditulis dalam bentuk matematis sebagai berikut (AAK, 1992):
Biaya penyemprotan (Rp/ha)
Nilai komoditas x kehilangan hasil/serangga
(Rp/kg) (kg/ha per serangga/m2)
b. Komponen Pengendalian Hama dan Penyakit
Usaha untuk memperoleh hasil tanaman yang maksimal bermacam cara
dilakukan, menurut AAK (1992) cara-cara pengendalian tersebut digolongkan kepada
lima cara yaitu: fisik dan mekanik, penggunaan varietas tahan, bercocok tanam, biologi,
dan kimia.
1. Fisik dan mekanik
Pengendalian hama atau penyakit dengan cara ini biasanya dilakukan pada usaha pertanian dalam skala kecil atau dalam rumah kawat atau rumah kaca. Pengendalian hama atau penyakit dengan fisik adalah penggunaan panas dan pengaliran udara. Sedangkan mekanik adalah usaha pengendalian dengan cara mencari jasad perusak tanaman, kemudian memusnahkannya. Cara ini dapat dilakukan dengan tangan atau menggunakan alat berupa perangkap.
2. Penggunaan varietas tahan
Penggunaan varietas tahan merupakan usaha pengendalian hama atau penyakit yang mudah dan murah bagi petani. Telah banyak varietas-varietas padi yang dilepas oleh Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian dan lembaga riset dalam dan luar negeri yang tahan terhadap hama dan penyakit utama tanaman padi.
3. Bercocok tanam
Berbagai usaha dalam bercocok tanam dapat menekan perkembangan jasad pengganggu tanaman, mulai dari pengolahan tanah, jarak tanam, waktu tanam, pengaturan pengairan, pengaturan pola tanam, dan pemupukkan (AAK, 1992).
4. Biologi
Penggunaan musuh alami berupa predator dan parasitoid telah lama dilakukan, tetapi keberhasilanya belum optimal, dan pada umumnya digunakan untuk pengendalian hama, sedangkan untuk pengendalian penyakit masih belum banyak dilakukan. Penggunaan predator berupa laba-laba dan jamur Metarizium untuk pengendalian wereng coklat telah dilaporkan tingkat keberhasilannya, tetapi keberhasilan tersebut masih dalam tingkat penelitian di laboratorium atau dirumah kaca. Sedangkan di lapangan belum mencapai keberhasilan yang optimal, karena berbagai faktor yang menghalangi perkembangan predator dan parasitoid tersebut. Misalnya parasitoid yang berupa mikro organisme sangat rentan terhadap perubahan faktor iklim. Sehingga kehidupannya akan cepat terganggu jika terjadi perubahan suhu atau kelembaban udara. Demikian juga serangga parasitoid yang menempatkan telurnya pada inangnya berupa hama tanaman. Efektifitasnya akan terlihat jika populasi hama tanaman lebih tinggi dari populasi parasitoid, dan pada saat itulah parasitoid akan bekerja menekan perkembangan populasi hama.
5. Kimiawi
Penggunaan pestisida kimia untuk pengendalian hama dan penyakit sangat jelas tingkat keberhasilannya. Penggunaan pestisida kimia merupakan usaha pengendalian yang kurang bijaksana, jika tidak dikuti dengan tepat penggunaan, tepat dosis, tepat waktu, tepat sasaran, tepat jenis dan tepat konsentrasi. Keadaan ini yang sering dinyatak sebagai penyebabkan peledakan populasi suatu hama (Soegiarto, et. al.,, 1993). Karena itu penggunaan pestisida kimia dalam pengendalian hama dan patogen perlu dipertimbangkan, dengan memperhatikan tingkat serangan, ambang ekonomi, pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dan hewan.
2.2 PHPT di Indonesia
Upaya peningkatan produksi padi secara nasional sudah dimulai sejak 1969 melalui Program Bimas Gotong Royong, dengan menerapkan teknologi panca usaha secara parsial berupa varietas unggul IR5 dan IR8, pemupukan, dan penyemprotan hama dari udara. Inovasi ini berhasil meningkatkan produksi beras menjadi 12,25 juta ton pada tahun 1969 dari 11,67 juta ton pada tahun 1968. Pada tahun 1970 diterapkan panca usaha lengkap dengan menambah komponen teknologi pengairan sehingga produksi padi terus meningkat dengan makin meluasnya areal pertanaman padi ajaib IR5 dan IR8 (Satari 1983).
Penerapan konsep PHT secara seksama dimulai pada tahun 1976 dan sejak tahun 1989 dikembangkan program PHT. Program tersebut telah membawa Indonesia diakui oleh dunia internasional berhasil mengembangkan PHT. Dukungan politik bagi pengembangan PHT secara luas dapat dilihat dari Instruksi Presiden No.3 tahun 1986 yang melarang 57 formulasi insektisida pada tanaman padi (Untung 2000). Keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan PHT tentu tidak terlepas dari peran aktif berbagai pihak, termasuk petani sendiri. Dalam periode 1989-1999 melalui program Sekolah Lapang PHT (SLPHT) Departemen Pertanian berhasil melatih lebih dari satu juta petani, khususnya untuk tanaman padi dan tanaman pangan lainnya. Hal ini tentu penting artinya dalam meningkatkan ke-sejahteraan petani melalui PHT dalam praktek pertanian yang baik
2.3 Cara Penerapan Konsep PHPT
a. Andragogik
Andragogik adalah suatu metode pendidikan yang bersifat informatif, komunikatif dan partisipatif karena andragogik ini adalah metode pendidikan yang ditunjukan mendidik orang dewasa. Dalam praktikalnya metode ini difokuskan pada para pelajar/yang diberi informasi untuk lebih aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Seorang pelajar atau objek penerima materi biasanya memaparkan terlebih dahulu apa yang dia ketahui, kemudian jika objek/pelajar menemukan permasalahan maka pengajar sebagai fasilitator memberikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Andragogik adalah suatu metode yang cukup berhasil sejauh ini dalam pengenalan konsep PHPT di masyarakat dimana dalam andragogik ini didalamnya adalah:
1. Penyuluhan
Penyuluhan adalah salah satu kegitan yang cukup efektif dan berhasil dalam mengintroduksi konsep PHPT di kalangan petani dan masyarakat pada umunya. Berbagai metode pendekatan yang dilakukan dalam penyuluhan cukup efektif merubah perilaku, sikap, dan keterampilan petani yang meliputi tatap muka atau share per-orang maupun dalam bentuk ceramah lewat pembentukan gapoktan (gabungan kelompok tani). sehingga petani lebih berwawasan dan tau mengenai agroekosistem dan pentingnya pertanian yang berkelanjutan. Berbagai media pun turut mendukung kegiatan ini baik media cetak ataupun elektronik serta media massa yang berdampak tak hanya petani yang mengenal konsep PHPT akan tetapi masyarakat luas pun mengenal konsep ini demi pertanian yang lebih baik, terintegrasi dan berkelanjutan.
2. SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu)
SLPHT adalah suatu kegiatan yang didukung oleh adanya peran pemerintah bahkan sekarang menjadi program pemerintah terutama dinas pertanian dalam menjalankannya. Dalam SLPHT sistemnya sama seperti sekolah pada umumnya, dimana ada kurikulum pula didalamnya dan sudah barang tentu adanya pengajar dan pelajar, namun perbedaan dengan sekolah pada umunya adalah 1. Pelajar disebut peserta dan pengajar disebut pemateri karena pelajar bukanlah anak-anak melainkan orang dewasa, 2. Kegiatan praktikal 70% dari keseluruhan kegiatan dan 30% diantaranya merupakan teori.
SLPHT dikatakan cukup efektif dalam kegiatan pengenalan PHPT karena konsep atau yang diajarkan di SLPHT sama dengan konsep PHPT yaitu 1.Budidaya tanman sehat, 2. Pengontrolan tanaman tiap minggu, 3. Menggunakan musuh alami, 4. Petani diharapkan mengerti dari ekologi tanaman yang ditanaman. Oleh sebab itu metode SLPHT efektif dan Efisien dalam pengenalan konsep PHPT, contohnya di lapangan ialah di SLPHT Jember dari 100 peserta yang di tes tentang materi PHPT, saat tes awal sebelum belajar di SLPHT dan telah belajar mengalami peningkatan yang cukup baik.
3. Seminar
Metode ini lebih di titik beratkan sasarannya terhadap kaum pelajar dan masyarakat pada umumnya, seperti seminar pada umunya pemateri memberikan materi kepada peserta seminar dengan suasana santai namun penyampaiannya tepat sasaran. Metode ini cukup berhasil menerapkan dan memberikan wawasan pada peserta yang diantaranya pelajar dan masyarakat pada umumnya untuk mengenal konsep PHPT.
b. Pedagogik
Pedagogik adalah suatu metode pendidikan keilmuan dimana objek dari metode ini diperuntukan bagi anak-anak. Dalam konteks metode ini anak-anak/siswa dianggap pengalaman dalam bidang keilmuannya masih rendah sehingga yang dominan dalam metode ini adalah pengajar, pengajar dalam metode ini adalah sebagai sumber sekaligus fasilitator dalam pembelajaran. Pada kenyataan dilapangan konsep ini sudah mulai diterapkan, namun konsep yang diajarkan tidak langsung pada konsep PHPT melainkan keilmuan lainnya yang berkaitan atau mendukung pemahaman konsep PHPT ini. Keilmuan yang mendukung konsep ini diantaranya ekologi, biologi, pendidikan lingkungan hidup, dll.
Di Amerika konsep PHPT telah ditanamkan sedini mungkin dan telah diajarkan di sekolah, hal ini disebabkan agar setiap siswanya dapat mengerti akan siklus ekologi dan mengerti akan keberlangsungan sumber daya alam yang harus dijaga sehingga terus berkelanjutan. Adapun konsep yang diajarkan didalamnya adalah : 1. Mengidentifikasi hama dan biologi hama, 2. Memonitoring dan menganalisa serta mengawasi ancaman dari suatu organisme(hama), 3. Melakukan pengendalian jika populasi dan perilaku hama sudah merugikan. Dengan diberlakukannya konsep diatas jelas penerapan PHPT di sekolah sangat penting agar siswa mengetahui pentingnya ekologi dan keberlangsungan siklus serta mungkin jika dikaitkan dengan konsep islam ialah lebih bertadabur terhadap alam.
2.3 PHPT Tanaman Padi
Luas panen padi pada tahun 2003 tercatat 11,48 juta hektar dan produksi padi pada tahun tersebut mencapai 52,08 juta ton, meningkat 1,14% dibanding tahun 2002 (51,49 juta ton). Kenaikan produksi merupakan dampak dari peningkatan produktivitas padi, dari 4,47 t/ha pada tahun 2002 menjadi 4,52 t/ha pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi, termasuk pengendalian hama dan penyakit, memegang peranan penting.
Dengan asumsi tidak ada terobosan teknologi maka produksi padi pada tahun 2020 diproyeksikan 57,4 juta ton. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia pada tahun yang sama diperkirakan 262 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,27%/ tahun. Apabila konsumsi beras perkapita masih tetap 134 kg/tahun maka kebutuhan beras pada tahun 2020 mencapai 35,1 juta ton atau setara dengan 65,9 juta ton gabah kering giling (GKG). Kalau produksi padi tidak meningkat berarti pada tahun 2020 terjadi kekurangan beras 4,5 juta ton atau setara dengan 8,5 juta ton GKG (Budianto 2002).
Untuk mengatasi kekurangan pangan perlu adanya terobosan peningkatan produksi padi. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa produktivitas padi masih dapat ditingkatkan melalui implementasi program PHT. Dalam praktek PHT, hasil padi petani di Karawang pada MK 1995 masih meningkat hingga 37% dengan penanaman varietas tahan hama wereng dan meningkat 46,3% untuk varietas tidak tahan (Baehaki et al. 1996).
Pengendalian Hama dan Penyakit
- Tikus
Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan spesies dominan pada pertanaman padi. Selain itu, dapat pula ditemukan tikus semak R. Exulans. Hama tikus perlu dikendalikan seawal mungkin, mulai dari pengolahan tanah sampai tanaman dipanen. Telah banyak cara pengendalian hama tikus sawah yang dilakukan petani, baik di Sumatera Barat maupun diberbagai daerah lainnya, namun ketepatan pemilihan waktu pengendalian, sasaran habitat, dan teknologi yang digunakan belum mencapai sasaran. Karena itulah maka populasi tikus hampir disemua daerah sentra pertanaman padi sawah semakin meningkat. Beberapa komponen teknologi pengendalian hama tikus sawah yang bisa dilakukan adalah:
a. Sanitasi lingkungan dan manipulasi habitat
- Membersihkan dan memperbaiki lingkungan di sekitar areal pertanaman padi, seperti: semak belukar, tanggul-tanggul saluran irigasi dan pematang sawah sehingga tikus merasa tidak nyaman untuk berlindung dan berkembang biak
- Memperkecil ukuran pematang sawah (tinggi dan lebar + 30 cm ) dapat menghambat perkembangan populasi tikus karena tikus tidak nyaman untuk membuat sarang
b. Kultur teknis
Musim tanam yang teratur dan terjalinnya kebersamaan antar petani dalam setiap kelompok tani serta kebersamaan antar kelompok tani dalam satu hamparan sehingga tumbuh kebiasaan bertanam serentak, penanaman varietas yang sama setiap musim (waktu panennya sama), pengaturan pola tanam, waktu tanam, dan jarak tanam.
- Pengaturan pola tanam. Pada lahan sawah irigasi dilakukan pergiliran tanaman,
seperti: padi-padi-palawija, padi-padi-bera, padi-palawija ikan-padi. Ini akan
mengakibatkan terganggunya siklus hidup tikus akibat terbatasnya ketersediaan
makanan. - Pengaturan waktu tanam. Penanaman padi sawah yang serentak pada satu hamparan (minimal 100 hektar) dapat meminimalkan kerusakan karena serangannya tidak terkonsentrasi pada satu lokasi tetapi tersebar sehingga kerusakan rata-rata akan lebih rendah.
- Pengaturan jarak tanam. Bertujuan menciptakan lingkungan terbuka sehingga tikus tidak merasa puas dalam mencari makanan. Penanaman padi agak jarang atau sistem tanam jajar legowo (bershaf) kurang disukai oleh tikus sawah (suasana terang) karena takut adanya musuh alami (predator).
c. Fisik dan mekanis
Secara fisik dengan mengubah lingkungan fisik seperti: suhu, kelembaban, cahaya, air, dll sehingga tikus menjadi jera atau mengalami kematian karena adanya perubahan faktor fisik. Secara mekanis, dengan menangkap dan membunuh tikus secara langsung atau menggunakan alat seperti cangkul, kayu pemukul, alat perangkap, penyembur api (solder) dan emposan atau fumigasi. Kelebihan cara ini, yaitu: (1) sederhana dan tidak memerlukan alat yang mahal; (2) Dapat menurunkan populasi tikus secara nyata; dan (3) meningkatkan kebersamaan petani. Sedangkan kelemahan cara ini, yaitu: (1) memerlukan tenaga kerja relatif banyak; (2) memerlukan kebersamaan antar petani; dan (3) menimbulkan kerusakan lingkungan seperti terbongkarnya pematang sawah, rusaknya saluran irigasi, tanggul, dsb.
- Gropyokan massal atau berburu tikus bersama. Mudah dilaksanakan, biaya murah, dan efektif menurunkan populasi hama tikus, tetapi membutuhkan kebersamaan.
- Alat perangkap. Bubu perangkap untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup, dan umpan beracun untuk menangkap tikus sampai tikus tersebut mati
- Solder dan emposan. Solder untuk menyeburkan api dan udara panas ke dalam
lubang atau sarang tikus sehingga tikus keluar atau mati dalam sarangnya. Untuk lebih efektifnya alat ini dapat digunakan belerang yang diletakkan pada mulut
sarang tikus sehingga hembusan asap belerang yang panas dapat meracuni tikus yang ada dalam sarang.
d. Biologis
Musuh alami tikus biasanya adalah: burung hantu, ular, anjing, dan kucing. Numun, musuh alami ini pada sawah irigasi sudah jarang ditemukan.
e. Kimiawi
Petani sudah banyak mengetahui pengendalian secara kimiawi ini, seperti rodentisida, fumigasi, dll. Namun cara ini hanya dianjurkan bila populasi tikus sangat tinggi dan cara lain sudah dilaksanakan.
f. Penerapan sistem SPBL dan SPB
Penangkapan tikus terutama di daerah endemis dapat dilakukan dengan sistem perangkap bubu (SPB) atau Trap Barrier System (TBS). Tanaman perangkap adalah padi yang ditanam pada lahan berukuran 20x20 m atau 50x50 m di tengah hamparan. Penanaman dilakukan 3 minggu lebih awal, pada saat petani disekitarnya membuat pesemaian. Tanaman perangkap dipagar dengan plastik setinggi 60 cm, disetiap sisi pagar ditaruh satu unit perangkap bubu berukuran 25x25x60 cm. Perangkap bubu dapat dibuat dari ram kawat atau kaleng bekas minyak goreng. Di sekeliling tanaman perangkap dibuat parit agar bagian bawah pagar selalu tergenang air, sehingga tikus diharapkan tidak dapat melubangi pagar atau menggali lubang di bawah pagar. Perangkap bubu perlu diperksi setiap hari sehingga tikus atau hewan lainnya yang terperangkap tidak mati dalam bubu. Setiap SPB mempunyai pengaruh sampai radius 200 m (hallo effect) sehingga satu unit SPB diperkirakan mampu mengamankan pertanaman padi seluas 10-15 ha dari serangan tikus.
Sistem perangkap bubu linier (SPBL) atau LTBS (Linear Trap Barrier System) digunakan untuk penangkapan tikus migran yang berasal dari sekitar sawah bera, rel kereta api, perkampungan atau saluran irigasi. Terdiri dari pagar plastik setinggi 50 cm sepanjang minimal 100 m dan pemasangan perangkap bubu setiap jarak 20 m. SPBL dipasang diantara pertanaman padi dengan habitat tikus, untuk jangka waktu 3-5 hari. SPBL dapat dipindahkan ke lokasi lain. Teknologi ini akan berhasil jika dapat diterapkan pada hamparan relatif luas dengan melibatkan beberapa petani sehamparan.
Keberhasilan pengendalian hama tikus sangat tergantung pada kearifan memadukan komponen teknologi tersebut. Disajikan model strategi pengendalian hama tikus terpadu yang dapat disesuaikan dengan lingkungan spesifik.
- Penggerek Batang
Penggerek batang merusak tanaman padi pada berbagai fase pertumbuhan, dan ditemukan pada padi sawah, padi air dalam dan padi gogo. Empat jenis penggerek batang padi yang umum ditemukan adalah; Penggerek batang padi kuning (Tryporyza incertulas), penggerak batang padi bergaris (Chilo suppressalis), penggerek batang padi putih (Tryporyza innotata), dan penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens). Kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh semua jenis hama penggerek batang adalah sama, yaitu matinya pucuk tanaman pada stadia vegetatif (sundep) dan malai yang keluar hampa pada stadia generatif (beluk). Penghendaliannya adalah:
- Panen padi sawah dengan cara memotong tunggul jerami rendah supaya hidup larvanya terganggu dimana larva yang ada dibagian bawah tanaman tertinggal dan membusuk bersama jerami.
- Pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan mengambil kelompok telur pada saat tanaman berumur 10-17 hari setelah semai, karena hama penggerek batang sudah mulai meletakkan telurnya pada tanaman padi sejak di pesamaian.
- Harus diamati intensif sejak semai sampai panen. Kalau populasi tinggi dapat dikendalikan dengan insektisida butiran (karbofuran, fipronil) dan insektisida cairan (dimehipo, bensultap, amitraz, dan fipronil) yang diaplikasikan bila populasi tangkapan ngengat 100 ekor/minggu pada perangkap feremon atau 300 ekor/minggu pada perangkap lampu. Insektisida butiran diaplikasikan bila genangan air dangkal dan insektisida cair bila genangan air tinggi.
- Penangkapan massal ngengat jantan dengan memasang perangkap feromon 9-16 perangkap setiap hektar untuk mengamati spesies dominan.
- Wereng coklat atau wereng punggung putih
Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) memiliki tingkat kemampuan reproduksi yang tinggi jika keseimbangan populasinya terganggu oleh penanaman varietas peka, perubahan iklim (curah hujan), maupun kesalahan aplikasi insektisida yang menyebabkan resurjensi hama. Wereng coklat mampu merusak tanaman padi dalam skala luas pada waktu yang relatif singkat. Wereng coklat dan wereng punggung putih (Sogatella furcifera H.) seringkali menyerang tanaman secara bersamaan pada tanaman stadia vegetatif. Varietas yang tahan wereng coklat belum tentu tahan wereng punggung putih. Oleh karena itu, pengendalian wereng coklat harus dimulai sebelum tanam. Pengendaliannya adalah:
- Di daerah endemis wereng coklat, pada musim hujan harus ditanam varietas tahan wereng coklat.
- Gunakan berbagai cara pengendalian, mulai dari penyiapan lahan, tanam jajar legowo, pengairaninttermitten, takaran pupuk sesuai BWD.
- Monitor perkembangan hama wereng punggung putih dan perimbangan populasi
wereng coklat dan musuh alami pada umur 2 minggu setelah tanam sampai 2
minggu sebelum panen. Pengambilan keputusan pengendalian wereng coklat
berdasarkan ambang kendali perlu mempertimbangkan populasi musuh alami, dengan cara:- Lakukan pengamatan pada 20 rumpun tanaman secara diagonal. Hitung jumlah wereng coklat + wereng punggung putih, predator (laba-laba, Opionea, Paedorus, dan Coccinella), dan kepik Cyrtohinus. Hasil pengamatan kemudian dijabarkan ke dalam rumus:
-
A - (5B + 2C)
D = 20
Dimana:
A= Jumlah wereng coklat + wereng punggung putih per 20 rumpun tanaman
B= Jumlah predator per 20 rumpun tanaman
C= Jumlah kepik Cyrthorinus per 20 rumpun tanaman
D= Jumlah wereng terkoreksi
o Penggunaan insektisida didasarkan pada jumlah wereng terkoreksi dan umur tanaman, yaitu bila: Nilai D >5 ekor pada saat tanaman berumur <40 HST, atau >20 ekor umur 40 HST
o Insektisida yang dianjurkan adalah fipronil (untuk biotipe 1 atau 2) dan imidakloprid (untuk biotipe 1, 2, 3, dan 4), atau insektisida rekomendasi setempat.
o Bila populasi hama dibawah ambang ekonomi, gunakan insektisida botani atau jamur ento-mopatogenik (Metarhizium annisopliae atau Beauveria bassiana).
- Siput murbei atau keong mas (Pomace canaliculata Lamarck)
Merupakan hama baru yang penyebarannya cukup luas. Kerusakan terjadi ketika
tanaman masih muda. Petani harus menyulam atau menanam ulang pada daerah
dengan populasi siput yang tinggi sehingga biaya produksi meningkat. Pengendaliannya
adalah:
- Mencegah introduksi keong mas pada areal baru. Bila keong mas masuk ke dalam areal sawah baru akan berkembang cepat terutama pada lahan yang selalu tergenang dan akan sukar dikendalikan.
- Pengendalian harus berkesinambungan, walaupun tanaman sudah berumur 30 HST, pengendalian harus tetap dilakukan untuk mencegah serangan pada pertanaman berikutnya.
- Secara mekanis dapat dilakukan dengan mengambil dan memusnahkan telur
dan keong mas baik dipesemaian atau di pertanaman secara bersama-sama,
membersihkan saluran air dari tanaman air seperti kangkung, dan mengembalakan itik setelah panen. Untuk mengurangi kegagalan panen, harus menyiapkan benih lebih banyak. - Pada stadia vegetatif, dapat dilakukan: (1) pemupukan P dan K sebelum tanam; (2) menanam bibit yang agak tua (>21 Hari) dan jumlah bibit lebih banyak; (3) mengeringkan sawah sampai 7 HST; (4) tidak mengaplikasikan herbisida sampai 7 HST; (5) mengambil keong mas atau telur dan memusnahkan; (6) memasang saringan pada pemasukan air untuk menjaring siput; (7) mengumpan dengan menggunakan daun talas atau daun pepaya; (8) Aplikasi pestisida anorganik atau nabati seperti saponin dan rerak sebanyak 20-50 kg/ha sebelum tanam pada caren sehingga pestisida bisa dihemat.
5. Hama ganjur (Orseolia oryzae Wood Mason)
Sering terjadi pada musim hujan terutama pada tanaman padi yang terlambat tanam. Pengendaliannya adalah:
- Penanaman varietas tahan, seperti: Tajum dll.
- Pengamatan tiap minggu, bila tingkat serangan mencapai 2% maka aplikasikan insektisida karbofuran dengan takaran 0,5 kg bahan aktif/ha.
6. Lembing batu (Scotinopora coarctata) atau black bugs
Berkembang dengan cepat sejak tanaman berumur 30 HST dan
perkembangannya terhambat bila sawah dalam keadaan tergenang. Pengendalian
dapat dilakukan pada stadia vegetatif dan generatif. Jika populasi rata-rata telah
mencapai >5 ekor/rumpun maka perlu diaplikasikan insektisida seperti: etripole dan
alfametrin.
7. Ulat tentara (Mythimna separata)
Menyerang tanaman secara tidak terduga baik stadia vegetaif maupun generatif. Pengendalian dilakukan bila telah terjadi serangan.
8. Walang sangit (Leptocorisa spp.)
Hanya menyerang tanaman yang sudah berbulir. Pengendalian dengan insektisida dilakukan jika populasinya melebih ambang kendali yaitu pada saat setelah stadia pembungaan ditemukan rata-rata >10 ekor/rumpun.
9. Penyakit tungro dan wereng hijau
Wereng hijau (Nephotettix virescens Distant) umumnya tidak langsung merusak tanaman padi, tetapi bertindak sebagai penular atau vektor penyakit virus tungro. Pengendalian dengan waktu tanam yang tepat dan rotasi varietas telah berhasil di Sulawesi Selatan namun pada kondisi pola tanam tidak teratur, pergiliran varietas kurang berhasil, seperti di Bali dan Jawa Tengah. Pengendaliannya adalah:
- Usahakan menanam serentak minimal 20 hektar
- Gunakan varietas tahan virus tungro atau tahan serangga penular wereng wijau. Varietas tahan wereng hijau menentukan >70% keberhasilan pengendalian tungro
- Buat persemaian setelah lahan dibersihkan dari gulma teki dan eceng gondok. Buang tanaman padi yang terinfeksi agar tidak menjadi sumber virus.
- Lakukan penanaman jajar legowo dua atau empat baris dapat menekan pemencaran wereng hijau.
-
- Sawah jangan dikeringkan karena merangsang pemencaran wereng hijau sehingga memperluas penyebaran tungro.
- Lakukan pengamatan tungro saat tanaman berumur 2-3 MST. Kendalikan serangga wereng hijau penular virus dengan insektisida kimiawi yang direkomendasikan bila saat tanaman umur 2 MST ditemukan 5 tanaman terserang dari 10.000 rumpun tanaman atau umur 3 MST ditemukan 1 tanaman terserang dari 1.000 rumpun tanaman. Insektisida yang dianjurkan adalah imidacloprid, tiametoksan, etofenproks, dan karbofuran.
10. Penyakit hawar daun bakteri (HDB)
Penyakit hawar daun bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae dapat terjadi melalui air, angin, dan benih. Infenksi terjadi melalui luka/lubang alami (stomata). Pengendaliannya adalah:
- Penanaman varietas tahan merupakan salah satu cara pengendalian, namunketahanan verietas saat ini di Indonesia bersifat spesifik lokasi karena strain HDB berbeda-beda. Saat ini terdapat strain III, IV, V, VI, VII, dan VIII.
- Amati kerusakan tanaman, bila keparahan penyakit melebihi 20% maka gunakan bakterisida Agrep.
- Lakukan rotasi tanaman, dan pupuk N yang digunakan jangan berlebihan.
BAB III
KESIMPULAN
- PHPT adalah suatu konsep pengendalian yang menggabung kan berbagai cara pengendalian yang didasarkan pada aras ekonomi yang bertujuan mengendalikan populasi hama pada keseimbangan umum.
- Penerapan konsep PHT di Indonesia secara seksama dimulai pada tahun 1976 dan sejak tahun 1989 dikembangkan program PHT.
- Penerapan konsep PHPT di masyarakat terbagi atas Andragogik yang meliputi penyuluhan, SLPHT, dan seminar. Adapun Pedagogik meliputi pendidikan formal bagi siswa secara formal di sekolah.
- Penerapan konsep PHPT pada tanaman padi ternyata masih meningkatkan hasil. Contohnya padi petani di Karawang pada MK 1995 masih meningkat hingga 37% dengan penanaman varietas tahan hama wereng dan meningkat 46,3% untuk varietas tidak tahan (Baehaki et al. 1996).
DAFTAR PUSTAKA
- Roja, Atman. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit Secara Terpadu (PHT) Pada Padi Sawah. Peneliti Madya pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat.
- Gouge, Dawn H, dkk. 2009. Integrated Pest Management: The Most Effective Way to Manage Pests in Your School!. The University of Arizona : College of Agriculture and Life Science.
- Deptan. 2008. PEDOMAN UMUM SEKOLAH LAPANGAN PTT PADI. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian.
- Pinniger, David. Winsor, Peter. 2004. Intregated Pest Management. Museum Libraries and Council 16 Queen Anne’s Gate London SW1H 9AA.
- Effendi, Baehaki Suherlan. 2009. STRATEGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU TANAMAN PADI DALAM PERSPEKTIF PRAKTEK PERTANIAN YANG BAIK (GOOD AGRICULTURAL PRACTICES). Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Subang.
- Pramono, Djoko. 2009. PERMASALAHAN HAMA TIKUS DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (CONTOH KASUS PERIODE TANAM 2003-2004). Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).
- Rustam, Rizal. 2010. Effect of integrated pest management farmer field school (IPMFFS) on farmers’ knowledge, farmers groups’ ability, process of adoption and diffusion of IPM in Jember district. Journal of Agricultural Extension and Rural Development, Vol. 2(2) pp. 029-035, March 2010.
I've been exploring for a bit for any high quality articles or weblog posts on this kind of house . Exploring in Yahoo I eventually stumbled upon this website. Studying this info So i'm happy
BalasHapusto show that I've a very good uncanny feeling I came upon exactly what I needed. I so much for sure will make sure to don?t put out of your mind this website and provides it a look on a relentless basis.
my web page news