Pages

Rabu, 20 November 2013

MAKALAH KESUBURAN TANAH “TANAH ULTISOL”

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Tanah Ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar kation yang tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala oleh iklim dan relief. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon argilik yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro serta bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya erosi tanah. Penelitian menunjukkan bahwa pengapuran, sistem pertanaman lorong, serta pemupukan dengan pupuk organik maupun anorganik dapat mengatasi kendala pemanfaatan tanah Ultisol. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman perkebunan relatif tidak menghadapi kendala, tetapi untuk tanaman pangan umumnya terkendala oleh sifat-sifat kimia tersebut yang dirasakan berat bagi petani untuk mengatasinya, karena kondisi ekonomi dan pengetahuan yang umumnya lemah.
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo et al. 2004). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan basa yaitu < 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat tambahan lainnya.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993). Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.
1.2. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu melatih para mahasiswa agroteknologi smester III dalam pembuatan Skripsi di masa yang akan dating, karena dengan begitu, para mahasiswa sekalian supaya tidak sulit lagi pada waktunya nanti, di makalah ini saya membahas tentang apa itu Tanah Ultisol, Tujuannya agar kita dapat mengetahui apa itu Tanah Ultisolol, cara pengaplikasiannya seperti apa, pengelolaannya bagaimana, kandungannya apa saja, dan baik digunakan untuk apa saja. Saya harap para mahasiswa dapat memahami dari makalah yang saya buat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. TEKNOLOGI PENGELOLAAN ULTISOL
Ditinjau dari luasnya, tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH ratarata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan kandungan bahan organic rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut dapat diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian bahan organik. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan hasil tanaman jagung (Tabel 4).
2.1.1. Pengapuran
Untuk mengatasi kendala kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dilakukanpengapuran. Reaksi tanah masam dengan kejenuhan Al tinggi sudah menjadi merek dari tanah ini. Kemasaman tanah berhubungan erat dengan kejenuhan Al, seperti yang dilaporkan oleh Abruna etal. (1975), % kejenuhan Al = 516,10−163,97 kemasaman tanah + 12,70 (kemasaman tanah) 2 dengan r = 0,90. Kandungan Al yang tinggi berasal dari pelapukan mineral mudah lapuk. Kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dinetralisir dengan pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat masam atau masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan kadar Al. Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan dolomit, walaupun pemberian kapur selain meningkatkan pH tanah juga dapat meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan basa. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al dan kejenuhan Al (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986). Pengapuran efektif mereduksi kemaaman (Wade et al. 1986), dan pemberian kapur setara dengan l x Aldd dapat menurunkan kejenuhan Al dari 87% menjadi < 20% (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986). Pada tanaman kedelai, pemberian kapur hingga kedalaman 30 cm dapat memberikan hasil tertinggi, tetapi residu kapur tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung yang ditanam setelah kedelai, dan hanya berpengaruh pada bobot tongkol basah (Suriadikarta et al. 1987a; 1987b). Pemberian kapur dapat mengatasi masalah kemasaman tanah dan juga menjamin tanaman dapat bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi kekeringan (Amien et al. 1990). Takaran kapur didasarkan pada Aldd atau persentase kejenuhan Al, karena setiap jenis tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kejenuhan Al (Tabel 5). Makin besar persentase kejenuhan Al dalam tanah, makin banyak kapur yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mencapai pH agak netral sampai netral. Pengapuran tampaknya dapat mengatasi masalah kejenuhan Al dan kemasaman pada tanah Ultisol. Namun di beberapa daerah seperti di Kalimantan dan Sumatera, ketersediaan kapur relative terbatas, dan bila tersedia harganya belum tentu terjangkau oleh petani. Pengapuran sebaiknya hanya dilakukan bila pH tanah di bawah 5 karena pada pH di atas 5,50, respons Al rendah karena sudah mengendap menjadi Al (OH)3.
2.1.2. Pemupukan Fosfat dan Kalium
Pemupukan fosfat merupakan salah satu cara mengelola tanah Ultisol, karena di samping kadar P rendah, juga terdapat unsur-unsur yang dapat meretensi fosfat yang ditambahkan. Kekurangan P pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh kandungan P dari bahan induk tanah yang memang sudah rendah, atau kandungan P sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk tanaman karena diserap oleh unsur lain seperti Al dan Fe. Ultisol pada umumnya memberikan respons yang baik terhadap pemupukan fosfat. Penggunaan pupuk P dari TSP lebih efisien dibanding P alam (Hakim dan Sediyarsa 1986), namun pengaruh takaran P terhadap hasil tidak nyata. Pemberian P 200−250 ppm P2O5 pada tanah Ultisol dari Lampung dan Banten dapat menghasilkan bahan kering 3−4 kali lebih tinggi dari perlakuan tanpa fosfat (Sediyarsa et al. 1986). Di samping itu pengaruh residu pemupukan P masih terlihat walaupun hasil tanaman lebih rendah dari pertanaman sebelumnya (Sugiyono et al. 1986). Respons tanaman jagung terhadap pemupukan P dan N pada tanah Typic Paleudults sangat tinggi karena status kesuburan Typic Paleudults sangat rendah. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa takaran pupuk P dan N untuk pertanaman jagung kedua lebih kecil dari pertanaman pertama (Soepartini dan Sholeh 1986). Residu pupuk P pada tanah Ultisol memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai (Suriadikarta dan Widjaja-Adhi 1986), bahkan residu P sebesar 3 x 60 kg P/ha dapat menaikkan ketersediaan P dalam tanah dari 3,30 menjadi 10,10 ppm P2O5. Pupuk K dalam bentuk KCl diberikan dengan takaran 100−130 kg KCl/ha.
2.1.3. Bahan Organik
Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat. Akibatnya pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke dalam tanah menjadi berkurang. Bahan organik selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga mempunyai peran penting dalam memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi, serta membuat struktur tanah menjadi lebih remah dan mudah diolah. Bahan organik tanah melalui fraksi-fraksinya mempunyai pengaruh nyata terhadap pergerakan dan pencucian hara. Asam fulvat berkorelasi positif dan nyata dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci, sedangkan asam humat berkorelasi negatif dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci (Subowo et al. 1990).
Pengelolaan bahan organik dengan penanaman Mucuna sp. selama 3 bulan dan pengembalian serasah + pupuk kandang 10 t/ha pada guludan dapat meningkatkan pori tanah, dan pori air tersedia, serta menurunkan kepadatan tanah (Erfandi et al. 2001). Pada Ultisol dari Sitiung, pemberian bahan organik berupa kotoran sapi, jerami, dan Flemingia congesta dapat meningkatkan kandungan bahan organik dan kapasitas tukar kation serta menghalangi serapan P dan Mg dalam tanah (Nursyamsi et al. 1997). Pengelolaan tanah dan bahan organic berupa sisa tanaman jagung, F. congesta, dan Mucuna sp. sebagai mulsa sangat efektif mencegah erosi serta mengurangi konsentrasi sedimen dan aliran permukaan (Kurnia et al. 2000). Pemberian berbagai jenis dan takaran pupuk kandang (sapi, ayam, dan kambing) dapat memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu menurunkan bobot isi serta meningkatkan porositas tanah dan laju permeabilitas (Adimihardja et al. 2000). Penambahan bahan organik dari pupuk kandang maupun sisa-sisa tanaman atau hasil penanaman seperti Mucuna sp. dan F. congesta dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti pori air tersedia, indeks stabilitas agregat, dan kepadatan tanah. Pemberian bahan organik baik dari sisasisa tanaman maupun yang sengaja ditanam tidak menimbulkan masalah bagi petani, tetapi pemberian pupuk kandang dengan takaran hingga 10 t/ha akan sangat sulit diterapkan oleh petani. Penyediaan bahan organik dapat pula diusahakan melalui pertanaman lorong (alley cropping). Selain pangkasan tanaman dapat menjadi sumber bahan organik tanah, cara ini juga dapat mengendalikan erosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanaman Flemingia sp. dapat meningkatkan pH tanah dan kapasitas tukar kation serta menurunkan kejenuhan Al (Hafif et al. 1993; Irianto et al. 1993; Suhardjo et al. 1997). Penerapan pola tanam tumpang gilir di produksi dengan pemberian mulsa setiap panen pada tanah Ultisol dapat menekan erosi pada lereng 15% hingga di bawah nilai erosi yang dapat diabaikan (Barus et al. 1986). Pada lereng sekitar 4%, penggunaan mulsa untuk mencegah erosi cukup baik asalkan diikuti pengelolaan tanah yang baik pula (Suwardjo et al. 1987).
2.2. KOMPOSISI MINERAL
Susunan mineral primer yang dominan pada Ultisol dengan bahan induk yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Kuarsa yang dominan terdapat pada Ultisol yang terbentuk dari tufa berkapur dan dari batuan granit (Pedon 3, Typic Haplohumults dan Pedon 1, Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang dari batuan tufa masam ( Pedon 2, Typic Paleudults), kuarsa dan opak mendominasi susunan mineral pasir, sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan intermedier (Pedon 4, Typic Paleudults), opak merupakan mineral yang dominan pada fraksi pasir. Yatno et al. (2000) menyatakan Ultisol dari batuan liat dan pasir didominasi oleh mineral kuarsa. Kandungan mineral mudah lapuk (weatherable mineral) seperti orthoklas,= biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol, augit, dan hiperstin pada tanah Ultisol umumnya rendah bahkan sering tidak ada (Subardja 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Prasetyo et al. 1998; Prasetyo et al. 2005). Dengan demikian Ultisol tergolong tanah yang miskin akan unsur hara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol menentukan komposisi mineralnya. Pada tanah yang berbahan induk batuan masam, mineral primer didominasi oleh kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan volkan didominasi oleh opak. Tufa masam merupakan jenis batuan sedimen masam dari bahan volkan sehingga komposisi mineral primernya didominasi oleh campuran opak dan kuarsa. Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit (Suharta dan Prasetyo 1986; Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001; Alkusuma dan Badayos 2003; Prasetyo et al. 2005). Gambar 1 memperlihatkan komposisi mineral liat dari Ultisol berbahan induk batuan granit. Pada gambar tersebut kaolinit ditunjukkan oleh puncak difraksi 7, 18A, dan 3,56A. Mineral liat lainnya adalah vermikulit dengan puncak difraksi 14,2A dan gibsit dengan puncak difraksi 4,83A. Puncak difraksi 11A pada perlakuan pemanasan K+ hingga 550°C menunjukkan adanya interlayer hidroksi Al. Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik. Kondisi tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun, dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat kimia tanah, karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20−12,50 cmol/kg liat (Briendly et al. 1986; Prasetyo dan Gilkes 1997). Mineral liat lainnya yang sering dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo et al. 1986). Adanya mineral smektit pada tanah Ultisol pernah dilaporkan oleh Subagyo et al. (1986) pada Ultisol dari batuan gamping di daerah Tuban, Jawa Timur dan oleh Prasetyo et al. (2000) pada Ultisol dari bahan tufa berkapur di daerah Pametikarata, Sumba Timur. Smektit merupakan jenis mineral 2:1 yang kehadirannya dalam tanah akan sangat menentukan sifat fisik dan kimia tanah. Pembentukan mineral ini memerlukan lingkungan dengan pH netral dan terjadi akumulasi basa-basa dan silika. Pada kedua jenis tanah Ultisol tersebut, smektit berasal dari bahan induk tanah (inherited) yang terbentuk melalui proses geologi (geogenic), bukan melalui proses pembentukan tanah (pedogenic). Smektit pada Ultisol umumnya sedang dalam proses pelapukan, yang dicirikan oleh tingginya Al dapat ditukar dan nilai kapasitas tukar kation yang rendah.
2.3. CIRI MORFOLOGI
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997; Suhardjo dan Prasetyo 1998; Alkusuma 2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys 1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989). Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo et al. 1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Ultisol umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus. Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2003). Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).
2.4. SIFAT KIMIA
Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil Taxonomy. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation < 16 cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Prasetyo et al. 2000; Prasetyo et al. 2005; Tabel 2) Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit (> 60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping (0%). Ultisol dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan Al pada tanah Ultisol berhubungan erat dengan pH tanah.
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik. Peningkatan fraksi liat yang membentuk horizon argilik pada tanah Ultisol cukup merugikan karena horizon ini akan menghalangi aliran air secara vertikal, sebaliknya aliran horizontal meningkat sehingga memperbesar daya erosivitas. Pembentukan horizon argilik merupakan proses alami yang sulit dicegah, namun erosi yang terjadi dapat dihindari atau dikurangi dampaknya. Masalah Al umumnya terjadi pada tanah Ultisol dari bahan sedimen. Bahan sedimen merupakan hasil dari proses pelapukan (weathering) dan pencucian (leaching), baik pelapukan dari bahan volkan, batuan beku, batuan metamorf maupun campuran dari berbagai jenis batuan sehingga mineral penyusunnya sangat bergantung pada asal bahan yang melapuk. Oleh karena itu, tanah Ultisol dari bahan sedimen sudah mengalami dua kali pelapukan, yang pertama pada waktu pembentukan batuan sedimen dan yang kedua pada wak-tu pembentukan tanah. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kandungan Al pada batuan sedimen sudah sangat tinggi. Kondisi ini akan berbeda bila tanah Ultisol terbentuk dari bahan volkan dan batuan beku. Pada tanah tersebut Al hanya berasal dari pelapukan batuan bahan induknya. Kondisi ini juga masih dipengaruhi oleh pH. Pada bahan induk yang bersifat basa, pelepasan Al tidak sebanyak pada batuan masam, karena pH tanah yang tinggi dapat mengurangi kelarutan hidroksida Al. Ultisol dari bahan sedimen mempunyai kesuburan alami yang lebih rendah daripada Ultisol dari bahan volkan atau batu kapur, karena bahan sedimen sudah merupakan hasil perombakan bahan lain sehingga kandungan unsur haranya pun rendah. Ultisol dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang berkembang dari batuan sedimen batu pasir dan batu liat mempunyai nilai kapasitas tukar kation tanah 3−18 cmol(+)/kg, kejenuhan basa 3− 9%, kejenuhan Al 33−95%, dan pH 3,70−5 (Prasetyo dan Suharta 2000; Yatno et al. 2000; Prasetyo et al. 2001). Sementara itu tanah Ultisol dari bahan volkan mempunyai nilai kapasitas tukar kation 13,80− 25,49 cmol(+)/kg tanah, kejenuhan basa 4− 35%, kandungan Al 0−16%, dan pH tanah 4,60−5,70 (Subagyo et al. 1987; Prasetyo et al. 2005).
BAB III
KESIMPULAN
3.1. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan, Pada umumnya Ultisol mempunyai penampang tanah yang dalam, sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Kecuali Ultisol yang mempunyai horizon kandik, semua tanah. Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi (> 16 cmol/kg) sehingga sangat menunjang dalam pemupukan. Penampang tanah yang dalam dengan kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi menjadikan tanah Ultisol dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis tanaman. Namun demikian, faktor iklim dan relief perlu diperhatikan.
Kendala pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian adalah kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi, kandungan hara dan bahan organik rendah, dan tanah peka terhadap erosi. Berbagai kendala tersebut dapat diatasi dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan bahan organik.
Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk tanaman perkebunan. Oleh karena itu, tanah ini banyak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri, terutama di Sumatera dan Kalimantan.
Masalah dalam penerapan hasil-hasil penelitian pengelolaan tanah Ultisol oleh petani adalah rendahnya pengetahuan dan sumber pembiayaan mereka, terutama untuk pengadaan pupuk P, kapur, dan pupuk kandang. Untuk memacu penerapan hasil-hasil penelitian dapat memanfaatkan tenaga penyuluh pertanian yang ada. Perlu dilakukan penelitian mengenai potensi aplikasi hasil-hasil penelitian oleh petani untuk memantau tingkat adopsi teknologi yang dihasilkan oleh petani.
BAB IV
PENUTUP
4.1. PENUTUP
Pada pembuatan makalah ini, saya sebagai penulis meminta maaf atas segala kekurangan dari makalah ini, karena saya masih dalam tahap belajar, saya mengharapkan kritik dan saran dari saudara sekalian supaya saya bisa memperbaiki kekurangan saya dalam pembuatan makalah ini, mungkin hanya itu saja yang dapat saya sampaikan, terima kasih atas perhatiannya.
Wassalamualaikum wr. Wb …
DAFTAR PUSTAKA
Aini Indrasari dan Abdul Syukur, Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Dan Unsur Hara Mikro Terhadap Pertumbuhan Jagung Pada Ultisol Yang Dikapur, Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol 6 (2) (2006) p: 116-123.
B.H. Prasetyo dan D.A. Suriadikarta, Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia, Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006.
Fajar Isminarni, Sri Wedhastri, Jaka Widada, Benito Heru Purwanto, Penambatan Nitrogen Dan Penghasilan Indol Asam Asetat Oleh Isolat-Isolat Azotobacter Pada Ph Rendah Dan Aluminium Tinggi, Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No. 1 (2007) p: 23-30.
Emanoel Gomes de Moura1*; Kátia Pereira Coelho1; Idelfonso Colares de Freitas1; Alanadas Chagas Ferreira Aguiar2, Chemical And Physical Fertility Indicators Of A Weakly-Structured Ultisol After Liming And Mulching, Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.), v.66, n.6, p.800-805, November/December 2009.
Ibrahaim M. Al-Kiki*, Moafaq A. Al-Atalla* & Abdulrahman H. Al-Zubaydi*, Long Term Strength and Durability of Clayey Soil Stabilized With Lime, Eng. & Tech. Journal, Vol.29, No.4, 2011.
Mbah Charles Ndubuisi, Nkpaji Deborah , Response of Maize (Zea mays L) to Different Rates of wood-ash Application in acid Ultisol in Southeast Nigeria, Journal of American Science 2010;6(1):53-57.


























































































1 komentar:

silahkan berkomentar