Pages

Sabtu, 27 April 2013

makalah phpt jagung

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman jagung sudah lama diusahakan petani Indonesia dan merupakan tanaman pokok kedua setelah padi. Penduduk kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Madura, sebagian Maluku, dan Irian Jaya sudah biasa menggunakan jagung sebagai makanan pokok sehari-hari. Produksi jagung Indonesia sebagian besar berasal dari pulau Jawa (± 66%) dan sisanya barasal dari di propinsi luar Jawa terutama Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

Jagung memiliki peranan penting dalam industri berbasis agribisnis. Untuk tahun 2009, Deptan melalui Direktorat Jendral Tanaman Pangan mengklaim produksi jagung mencapai 18 juta ton. Jagung dimanfaatkan untuk konsumsi, bahan baku industri pangan, industri pakan dan bahan bakar. Kebutuhan jagung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring berkembangnya industri pakan dan pangan.

Kendala dalam budidaya jagung yang menyebabkan rendahnya produktivitas jagung antara lain adalah serangan hama dan penyakit. Hama yang sering dijumpai menyerang pertanaman jagung adalah ulat Penggerek batang jagung, Kutu daun, ulat Penggerek tongkol, dan Thrips. Bulai, Hawar daun, dan Karat adalah penyakit yang sering muncul di pertanaman jagung dan dapat menurunkan produksi jagung.

PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. lni berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian.

Sasaran PHT adalah: 1) produktivitas pertanian mantap tinggi, 2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi hama dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah :

1. Pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.

2. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam, antara lain: a) penanaman varietas tahan, b) penanaman benih sehat, c) pergiliran tanaman dan pergiliran varietas, d) sanitasi, e) penetapan masa tanam, f) tanam serempak dan pengaturan saat tanam, g) penanaman tanaman perangkap/penolak, h) pengaturan jarak tanam, i) penanaman tumpang sari, j) pengelolaan tanah dan air, dan k) pemupukan berimbang sesuai dengan kebutuhan setempat.

3. Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama.

4. Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fiosiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan telah diizinkan.

1.2 Tujuan

a) Mengetahui Organisme Pengganggu Tanaman dan musuh alami pada tanaman jagung

b) Mengetahui cara pembuatan pestisida nabati untuk hama tanaman jagung

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komoditas Jagung

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Maduradan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi.

Berdasarkan bukti genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan). Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru pada 4000 tahun yang lalu. Kajian filogenetikmenunjukkan bahwa jagung (Zea mays ssp. mays) merupakan keturunan langsung dari teosinte (Zea mays ssp. parviglumis). Dalam proses domestikasinya, yang berlangsung paling tidak 7000 tahun oleh penduduk asli setempat, masuk gen-gen dari subspesies lain, terutama Zea mays ssp. mexicana. Istilah teosinte sebenarnya digunakan untuk menggambarkan semua spesies dalam genus Zea, kecuali Zea mays ssp. mays. Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Hingga kini dikenal 50.000 varietas jagung, baik ras lokal maupun kultivar.

Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecious), yaitu letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina dalam satu tanaman. Dalam taksonominya jagung termasuk dalam ordo Tripsaceae, famili Poaceae, sub famili Panicoideae, genusZea, dan spesies Zea mays L, (Muhadjir, 1988).

Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) adalah sekolah yang diselenggarakan di lapangan. "Sekolah Lapangan" tersebut, seperti sekolah pada umumnya, juga mempunyai kurikulum, sistem evaluasi belajar dan dilengkapi dengan sertifikat kelulusan. Pada SLPHT tidak ada istilah murid dan guru, tetapi istilahnya adalah peserta dan pemandu lapangan, karena dalam proses belajarnya peserta dipandu untuk mengetahui, memahami, dan menerapkan PHT sendiri. SLPHT diikuti oleh 20 - 25 petani peserta yang belajar PHT bersama dengan satu atau dua Pemandu Lapangan. Tempat belajar utama SLPHT adalah lahan pertanian. Berikut adalah ciri-ciri SLPHT :
- Petani dan pemandu adalah warga belajar yang saling menghormati
- Perencanaan bersama oleh kelompok petani peserta
- Keputusan ditetapkan secara bersama oleh anggota kelompok petani peserta
- Cara belajar melalui pengalaman/pendekatan pendidikan orang dewasa
- Peserta melakukan sendiri, mengalami sendiri dan menentukan sendiri
- Materi belajar dan praktek terpadu dilapangan
- Lahan belajar adalah lahan usaha tani (agroekosistem)
- Belajar secara utuh selama satu siklus perkembangan tanaman
- Kurikulum yang rinci dan terpadu
- Sarana serta bahan mudah dan praktis, serba guna, dan mudah diperoleh dari lapangan
- Demokratis, kebersamaan, keselarasan, partisipatif, dan tanggung jawab
Program SLPHT mempunyai tujuan umum agar petani peserta dan pemandu lapangan dapat memasyarakatkan PHT, sehingga SLPHT yang pada mulanya bersifat lokal, akan terus hidup dan berkembang, dengan dukungan petugas POPT, penyuluh dan aparat pemerintahan setempat. Pemahaman dan penerapan PHT yang semakin meluas diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi pertanian, serta dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan agroekosistem dan kenyamanan lingkungan hidup.
Kegiatan SLPHT juga mempunyai tujuan khusus bagi para pihak yang berperan serta:
1. SLPHT untuk petugas POPT dan Penyuluh
2. SLPHT untuk PETANI dan MASYARAKAT DESA
Prinsip-prinsip PHT dalam SLPHT
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bukan hanya sebuah pesan ataupun paket kegiatan, tetapi lebih mendalam lagi. PHT adalah sebuah cara untuk mengelola pertumbuhan tanaman sehingga dapat memberikan keuntungan yang maksimal. Ada 4 (empat) prinsip manajemen yang mendasari PHT. Keempatnya bersifat luwes dapat digunakan di mana saja, disesuaikan dengan daerah dan lahan setempat. Keempat prinsip tersebut adalah :
1. Budidaya Tanaman Sehat
- Memilih bibit yang sehat dari varietas yang cocok dengan kondisi setempat.
- Mengelola kecukupan pengairan dan pemupukan yang berimbang.
- Mengelola gulma secara rasional
2.Pelestarian Musuh Alami
- Menemukan, mengenali dan mengamati musuh-musuh alami (teman petani/mitra tani) di lahan.
- Memelihara keseimbangan lingkungan lahan-lahan agar populasi musuh alami dapat berkembang. Jangan gunakan Pestisida yang membunuh musuh alami.
3. Pengamatan Berkala
- Mengamati secara berkala kondisi tanaman, air, cuaca, organisme pengganggu tumbuhan (OPT), dan musuh alami.
- Menganalisis keadaan dan membuat keputusan dengan membandingkan potensi kehilangan hasil dengan ongkos pengelolaan.
4. Petani Ahli PHT
- Petani menguasai teknologi PHT dan mampu menerapkan prinsipPHT serta bertanggung-jawab terhadap lahannya sendiri.


III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan waktu

Kelompok budaya tani ds. Pasir biru kec.rancakalong kab. Sumedang. Hari senin tanggal 15 Oktober dan hari jum’at tanggal 2 November.

3.2 Metode

Wawancara dengan Bp. Engkos koswara ( Penyuluh Ds. Pasir Biru kec. Rancakalong kab. Sumedang ) serta dengan Bp. Didi ( Petani tanaman jagung Ds. Pasir Biru kec. Rancakalong kab. Sumedang )

3.3 Alat dan Bahan

A. Buku tulis

b. ballpoint

c. flashdisk

d. kamera

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Organisme Pengganggu Tanaman Penting pada Jagung

A. Bulai

Gejala. Gejala penyakit ini terjadi pada permukaan daun jagung berwarna putih sampai kekuningan diikuti dengan garis-garis klorotik dan ciri lainnya adalah pada pagi hari di sisi bawah daun jagung terdapat lapisan beledu putih yang terdiri dari konidiofor dan konidium jamur. Penyakit bulai pada tanaman jagung menyebabkan gejala sistemik yang meluas keseluruh bagian tanaman dan menimbulkan gejala lokal (setempat). Gejala sistemik terjadi bila infeksi cendawan mencapai titik tumbuh sehingga semua daun yang dibentuk terinfeksi. Tanaman yang terinfeksi penyakit bulai pada umur masih muda biasanya tidak membentuk buah, tetapi bila infeksinya pada tanaman yang lebih tua masih terbentuk buah dan umumnya pertumbuhannya kerdil.

Penyebab. Penyakit bulai di Indonesia disebabkan oleh cendawanPeronosclerospora maydis dan Peronosclerospora philippinensis yang luas sebarannya, sedangkan Peronosclerospora sorghii hanya ditemukan di dataran tinggi Berastagi Sumatera Utara dan Batu Malang Jawa Timur.

Cara pengendalian. Menanam varietas tahan: Sukmaraga, Lagaligo, Srikandi, Lamuru dan Gumarang. Melakukan periode waktu bebas tanaman jagung minimal dua minggu sampai satu bulan. Melakukan penanaman jagung secara serempak.Melakukan eradikasi tanaman yang terinfeksi bulai. Serta Penggunaan fungisida metalaksil pada benih jagung (perlakuan benih) dengan dosis 0,7 g bahan aktif per kg benih.

B. Hawar daun

Gejala. Pada awal infeksi gejala berupa bercak kecil, berbentuk oval kemudian bercak semakin memanjang berbentuk ellips dan berkembang menjadi nekrotik dan disebut hawar, warnanya hijau keabu-abuan atau coklat. Panjang hawar 2,5_15 Cm, bercak muncul awal pada daun yang terbawah kemudian berkembang menuju daun atas. Infeksi berat dapat mengakibatkan tanaman cepat mati atau mengering dan cendawan ini tidak menginfeksi tongkol atau klobot. Cendawan ini dapat bertahan hidup dalam bentuk miselium dorman pada daun atau pada sisa sisa tanaman di lapang. Penyebab penyakit hawar daun adalah : Helminthosporium turcicum

Cara pengendalian. Menanam varietas tahan Bisma, Pioner2, pioner 14, Semar 2 dan 5. Eradikasi tanaman yang terinfeksi bercak daun. Penggunaan fungisida dengan bahan aktif mankozeb dan dithiocarbamate.

C. Karat

Gejala. Bercak-bercak kecil (uredinia) berbentuk bulat sampai oval terdapat pada permukaan daun jagung di bagian atas dan bawah, uredinia menghasilkan uredospora yang berbentuk bulat atau oval dan berperan penting sebagai sumber inokulum dalam menginfeksi tanaman jagung yang lain dan sebarannya melalui angin. Penyakit karat dapat terjadi di dataran rendah sampai tinggi dan infeksinya berkembang baik pada musim penghujan atau musim kemarau. Penyebab penyakit karat adalah Puccinia polysora

Cara pengendalian. Menanam varietas tahan Lamuru, Sukmaraga, Palakka, Bima 1 dan Semar 10. Eradikasi tanaman yang terinfeksi karat daun dan gulma.Penggunaan fungisida dengan bahan aktif benomil.

D. Ostrinia furnacalis

Penggerek batang, Ostrinia furnacalis Guenee, merupakan salah satu hama utama pada tanaman jagung sehingga keberadaannya perlu diwaspadai. Kehilangan hasil akibat hama tersebut mencapai 20−80%. Besarnya kehilangan hasil dipengaruhi oleh padat populasi larva O. furnacalis serta umur tanaman saat terserang. Telur O. Furnacalis diletakkan secara berkelompok pada bagian bawah daun, bentuknya menyerupai sisik ikan dengan ukuran yang berbeda-beda. Periode telur berlangsung 3−4 hari. Larva terdiri atas lima instar, setiap instar lamanya 3−7 hari. Stadium pupa berlangsung 7−9 hari. Lama hidup ngengat adalah 2−7 hari sehingga siklus hidup dari telur hingga ngengat adalah 27−46 hari dengan rata-rata 37,50 hari.

Musuh alami O. furnacalis yang ditemukan di Sulawesi Selatan, seperti di Maros, Barru, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai adalah parasitoid telur Trichogramma evanescens dan parasitoid larva dari ordo/famili Hymenoptera/Ichneumonidae (1 spesies), Hymenoptera/Braconidae (1 spesies), dan Diptera/Tachinidae (1 spesies). Persentase telur O. furnacalis yang terparasit dalam satu kelompok berkisar antara 71,56−89,80%. Larva O. furnacalis yang terparasit Ichneumonidae, Braconidae, dan Tachinidae berkisar antara 1−6%. Parasitoid telur lebih efektif menekan populasi O. Furnacalis dibanding parasitoid larva. Jenis-jenis predator telur dan larva O. furnacalis adalah Cocopet (Proreussp., Euborellia sp.) dan laba-laba (Lycosa sp., Chrysopa sp., dan Orius tristicolor),sedangkan patogen yang efektif menekan populasi O. furnacalis adalahMetarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana. Keefektifan kedua jenis cendawan tersebut bergantung pada konsentrasi konidia dan stadium perkembangan larvaO. furnacalis; makin muda stadium larva makin tinggi tingkat mortalitasnya (Wakman 2005)

E. Rhopalisiphum maidis

Tanaman yang menjadi inang utama bagi kutu daun ini sebenarnya adalah jagung. Akan tetapi kutu ini memiliki inang alternative mulai dari tanaman padi sampai pada tanaman hutan seperti Acacia sp. Kutu ini menginfeksi semua bagian tanaman, akan tetapi infeksi terbanyak terjadi pada daun. Kutu ini selain merusak daun tanaman inangnya juga membawa sebagai vector dari berbagai macam virus penyakit (Mau dan Kessing, 1992). Populasi kutu ini dapat mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini disebabkan oleh sifat perkembangbiakkannya yang parthenogenesis. Perkembangbiakan secara parthenogenesis memungkinkan suatu spesies untuk melestarikan jenisnya tanpa harus melakukan perkawinan (Kalshoven, 1981). Daur hidup kutu ini dimulai dari telur, kemudian nympha, dan kutu dewasa. Pada fase nympha, kutu ini mengalami 4 tahapan. Tahapan pertama nympha akan tampak berwarna hijau cerah dan sudah terdapat antena. Tahap nympha kedua tampak berwarna hijau pale dan sudah tampak kepala, abdomen, mata berwarna merah, dan antenna yang terlihat lebih gelap dari pada warna tubuh. Pada tahap ketiga, antena akan terbagi menjadi 2 segmen, warna tubuh masih hijau pale dengan sedikit lebih gelap pada sisi lateral tubuhnya, kaki tampak lebih gelap daripada warna tubuh (Kalshoven, 1981). Kutu dewasa ada beberapa yang memiliki sayap (alate) dan yang tidak memiliki saya (apterous). Sayap pada kutu ini memiliki panjang antara 0,04 to 0,088 inchi. Tubuh kutu dewasa berwarna kuning kehijauan sampai berwarna hijau gelap (Kalshoven, 1981).

Populasi kutu ini dapat dikontrol dengan kehadiran Aphelinus maidis. A. maidis akan memparasit kutu ini pada fase nympha. Selain itu, terdapat juga organisme predator seperti Allograpta sp. dan beberapa jenis kumbang (Kalshoven, 1981).

F. Cnaphalocrosis medinalis

Hama putih palsu jarang menjadi hama utama padi. Serangannya menjadi berarti bila kerusakan pada daun pada fase anakan maksimum dan fase pematangan mencapai > 50%. Tanda-tanda Serangan berupa kerusakan akibat serangan larva hama putih palsu terlihat dengan adanya warna putih pada daun di pertanaman. Larva makan jaringan hijau daun dari dalam lipatan daun meninggalkan permukaan bawah daun yang berwarna putih. Siklus hidup hama ini berkisar 30-60 hari. Tanda pertama adanya infestasi hama putih palsu adalah kehadiran ngengat berwarna kuning coklat yang memiliki tiga buah pita hitam dengan garis lengkap atau terputus pada bagian sayap depan. Pada saat beristirahat, ngengat berbentuk segi tiga. Untuk mengendalikan hama putih palsu perlu dilakukan upayakan pemeliharaan tanaman sebaik mungkin agar pertanaman tumbuh secara baik, sehat, dan seragam. Penggunakan insektisida (bila diperlukan) berbahan aktiffipronil atau karbofuran.

2.3 Musuh Alami

A. Famili Coccinellidae

Musuh alami merupakan salah satu komponen dalam pengendalian hama terpadu (PHT), sehingga penelitian pemanfaatan musuh alami (predator, parasitoid dan patogen) sangat penting untuk mendukung keberhasilan pengendalian hama tanaman yangn berwawasan lingkungan. Menurut Kalshoven (1981) musuh alami ini termasuk kumbang buas dari famili Coccinellidae dan ordo Coleoptera, imago berwarna merah dengan becak hitam melintang pada bagian elitra. Predator tersebut panjangnya 5-6 mm, tersebar luas di daerah tropik. Larva mencapai panjang 8 mm, berwarna hitam kecoklatan dengan garis kuning melintang di bagian abdomen dan terdapat empat baris setae. Imago tertarik cahaya matahari dan sering mengunjungi bunga yang sedang mekar. Perkembangan dari telur sampai dewasa mencapai 18-24 hari. Di Jawa predator tersebut ditemukan pada tanaman pertanian yang banyak aphisnya, sangat rakus terhadap mangsanya dan bila tidak menemukan mangsa mereka kadang-kadang mengkonsumsi polen.

Predasi, dalam arti luas merupakan cara hidup binatang dan dalam arti khusus merupakan pola hidup serangga pemangsa termasuk Menochilus sexmaculatus. Beberapa keberhasilan pengendalian hayati hama tanaman pertanian adalah melalui pemanfaatan predator. Menurut Holling (1961), terdapat lima komponen hubungan antara predator dan mangsa yaitu :

1. Kepadatan mangsa

2. Kepadatan predator

3. Keadaan lingkungan, seperti adanya makanan alternatif

4. Sifat mangsa, misalnya mekanisme mempertahankan diri dari serangan pemangsa

5. Sifat predator, misalnya cara menyerang mangsa.

Penggunaan predator sebagai agen hayati pengendalian hama tanaman memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan cara pengendalian lainnya karena aman, permanen dan ekonomis. Keamanan dari pemanfaatan predator merupakan faktor penting, sebab banyak musuh alami bersifat spesifik (khusus) terhadap mangsa tertentu. Musuh alami yang efisien memberikan pengaruh pada fuktuasi populasi mangsa tanpa adanya campur tangan manusia. Sekali predator mapan di suatu tempat maka untuk jangka lama mereka secara alami mengendalikan populasi mangsanya.

Kelemahan kecil pemanfaatan predator adalah perlunya waktu cukup lama untuk mendapatkan predator yang efektif sebagai agen hayati pengendalian hama tanaman. Pengendalian hayati menggunakan predator membutuhkan penelitian yang kompleks dan melibatkan kaitan antara pemangsa, mangsa (hama) dan tanaman inang dari mangsa.

B. Famili Syrphidae

Umum disebut Hover fly karena kemampuannya melakukan hovering. Syrphidae termasuk famili yang besar. Tercatat terdapat 870 spesies di Amerika Utara, 250 spesies di Eropa kepulauan Inggris, 300 spesies di Eropa daratan dan mungkin lebih banyak lagi di Asia termasuk Indonesia. Anggota Syrphidae hidup pada berbagai habitat dengan beragam peran sebagai saprofag, mikofag, herbivore, dan predator. Subfamili yang anggotanya sebagian besar menjadi predator terutama kutu daun adalah Subfamili Syrphinae. Beberapa contoh spesies yang telah dikenal sebagai predator di agroekosistem adalah: Episyrphus balteatus, Syrphus corrolae, dan Ischidion scutellaris.

4.2 PEMBUATAN PESTISIDA NABATI

1. Untuk mengendalikan hama ulat dan kutu-kutuan

A. Alat dan bahan

1) Daun sirsak 4 genggam

2) Sereh wangi 1 ikat

3) Sabun deterjen 20 gr

4) Air 5 L

5) Kain saringan

6) Ember

7) Tumbukan

B. Cara pembuatan

1) Daun sirsak dan sereh wangi di tumbuk hingga halus

2) Campurkan dengan sabun deterjen dan air

3) Diperam selama 2 hari 2 malam

4) Disaring menggunakan kain

5) Siap di aplikasikan

2. Untuk mengendalikan hama wereng

A. Alat dan bahan

1) Daun nimba 2 genggam

2) Daun comrang 1 genggam

3) Sabun deterjen 20 gr

4) Air 5 L

5) Kain saringan

6) Ember

7) Tumbukan

B. Cara pembuatan

1) Daun nimba dan daun comrang di tumbuk hingga halus

2) Campurkan dengan sabun deterjen dan air

3) Diperam selama 2 hari 2 malam

4) Disaring menggunakan kain

5) Siap di aplikasikan

Hama tanaman jagung yang dikendalikan dengan kedua pestisida ini, dalam jangka waktu 1 minggu itu dapat kembali menyerang tanaman jangung, sehingga dengan begitu penggunaan dari kedua pestisida nabati ini dilakukan dalam waktu satu minggu satu kali. Pestisida nabati ini tidak membunuh melainkan hanya mengendalikan hama sehingga hama yang dikendalikan akan kembali lagi tetapi dalam jangka waktu yang agak lama. Adapun dalam konsep PHT disebutkan bahwa pestisida nabati itu tidak membunuh hama tetapi mengendalikan hama, populasi hama berkurang, tanaman sehat bebas residu, lingkungan aman tidak tercemar.

V. SIMPULAN DAN SARAN

Penerapan SL-PHT di desa Pasir Biru kec. Rancakalong kab. Sumedang sudah cukup baik yaitu dengan tidak menggunakan pestisida kimia atau sintetik untuk mengendalikan hama pada tanaman jagung tetapi menggunakan pestisida nabati yang ramah lingkungan sehingga tidak merusak keseimbangan alam.

Keuntungan penggunaan pestisida nabati adalah:

1. Hemat biaya

2. Tanaman sehat bebas residu

3. Tidak membunuh musuh alami

4. Ramah lingkungan

5. Alat dan bahannya mudah didapat

DAFTAR PUSTAKA

Holling, C. S., 1961. Principles of Insect Predation. Ann. Rev. Entomol. 6 : 163-182.

Kalshoven LGE. 1981. The pest of crop in Indonesia. Revised and translated by Van der Lann PA. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve.731p.

Muhadjir, F. 1998. Karakteristik Tanaman Jagung dalam Subandi, M. Syam, A. Wijiono. Jagung. Hal : 33-38. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Wakman, Burhanudin. 2005. Pengelolaan Hama dan Penyakit Jagung. [jurnal on-line]. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/p3231042.pdf [15 November 2010]

Willson, H.R. 1990. Soybean Pest Management. The OHIO  STATE University Extension. 5 p.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar